Politik Hukum Pidana Perzinaan
Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M.
Diterbitkan oleh Jawa Pos 25 Desember 2018
Let’s kill all the lawyers merupakan ungkapan Shakespeare untuk menunjukkan bahwa ahli-ahli hukum itu malah merusak hukum itu sendiri. Dalam hal ini kurang lebih cocok dengan para ahli hukum yang sema-mena menerjemahkan Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 mengenai uji materiil KUHP. Pemahaman yang disampaikan media didukung beberapa pakar hukum yang terlibat adalah bahwa MK “melegalkan” kumpul kebo dan LGBT. Tulisan ini akan menjelaskan secara sederhana dari sudut pandang hukum pidana mengenai Putusan MK tersebut. Bagian awal yang harus dipahami adalah bahwa para pemohon mengajukan pengujian Pasal 284 KUHP (Perzinaan), Pasal 285 KUHP (Perkosaan), dan Pasal 292 KUHP (Perbuatan Cabul). Dengan luasnya pembahasan pada Putusan tersebut, maka tulisan ini akan fokus mengkaji mengenai politik hukum pidana mengenai perzinaan.
Dalam isu perzinaan, pemohon memohon menghapus unsur “ikatan perkawinan” dalam Pasal 284, serta merubahnya dari delik aduan (klacht delict) menjadi delik biasa. Secara sederhana permohonan tersebut ingin menciptakan kriminalisasi atau proses merubah perbuatan zina dimana pelaku tidak memiliki ikatan pidana yang tadinya tidak dipidana menjadi perbuatan pidana. Dalam hal ini, kriminalisasi tidak dapat dilakukan MK. Sebagaimana bisa kita temukan dalam Putusan MK Nomor 132/PUU-XIII/2015 yang menguji tentang pasal Prostitusi di KUHP dikatakan bahwa MK tidak dapat menjadi criminal policy maker dimana yang dapat merumuskan kebijakan pidana hanyalah DPR dan MK hanya sebagai negative legislature yang hanya dapat menghapus ketentuan, bukan menciptakan ketentuan. Pendapat tersebut bahkan oleh MK disebut sebagai opinio jurist sive necessitates atau pandangan umum yang diterima oleh para jurist sebagai hukum. Sehingga MK tidak dapat melakukan proses kriminalisasi tersebut. Kewenangan MK tidak sampai untuk menciptakan sebuah tindak pidana baru. Walaupun jika diperhatikan tidak sedikit kasus dimana MK menjadi positive legislature apalagi dalam UU Pidana, sebagai contoh adalah Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2015 dimana MK memperluas kewenangan Praperadilan. Dalam kasus tersebut MK menjadi positive legislature. Seharusnya secara tegas MK menjadi negative legislature saja terutama yang berkaitan dengan politik hukum pidana. Selain itu, harus dilihat bahwa KUHP warisan Belanda yang telah disahkan sebagai Undang-Undang Pidana Indonesia telah sejak awal hanya memidana perzinaan bagi yang memiliki ikatan perkawinan saja, sehingga ini bukan merupakan kesalahan MK, namun memang merupakan kebijakan pembentuk undang-undang untuk tidak memidana seks bebas yang dilakukan suka-sama-suka.
Sebagai argumentasi lebih lanjut dalam melakukan kriminalisasi, pembentuk undang-undang harus memperhatikan parameter kriminalisasi dimana salah satunya adalah jangan sampai menimbulkan overkriminalisasi. Overkriminalisasi adalah penggunaan pidana yang berlebihan terhadap suatu perbuatan. Tingkatan tertinggi dari overkriminalisasi adalah pemidanaan terhadap perbuatan yang bagi masyarakat umum dan lumrah. Bagi Indonesia yang menganut Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga konstitusi kita bisa juga disebut Godly Constitution, perzinaan sudah sepantasnya tidak menjadi perbuatan umum dan lumrah. Akan tetapi apakah dalam kondisi saat ini penegak hukum serta masyarakat siap menghadapi pemidanaan atas perzinaan dimana kedua pelakunya tidak memiliki ikatan perkawinan dengan pihak lain? Ketidaksiapan tersebut menjadikan pemidanaan hal ini harus melalui jalur pembentuk undang-undang, bukan melalui Mahkamah Konstitusi.
Untuk masalah perzinaan, kita dapat melihat sejauh mana pembentuk undang-undang membahasnya dalam RUU KUHP. Pada RUU KUHP Tahun 2017 Pasal 484 ayat 1 huruf e, pada dasarnya telah mengakomodir permohonan pemohon untuk meng-kriminalisasi-kan perbuatan zina suka sama suka dimana pelaku tidak ada yang memiliki ikatan perkawainan. Namun tercatat Panitia Kerja DPR masih memperdebatkan pasal tersebut dimana 3 fraksi menginginkan pencabutan dan 7 fraksi setuju dengan pasal tersebut sebagaimana tercatat pada catatan Panitia Kerja tertanggal 14 Desember 2016 yang dapat diakses dari website resmi wikidpr.
Bagaimana seharusnya pengaturan perzinaan dapat melihat sifat ketercelaan dari perzinaan yang pada dasarnya jelas melanggar norma agama dan living law yang ada di masyarakat. Sebagaimana 4 hakim MK yang berbeda pendapat dalam Putusan MK tentang perzinaan, menyatakan overspel (perzinaan) seharusnya melingkupi bagi yang sudah memiliki ikatan perkawinan (adultery) dan juga yang belum memiliki ikatan perkawinan (fornication) sesuai dengan norma agama yang ada di Indonesia. Dalam praktik juga banyak ditemukan banyaknya kasus dimana keluarga perempuan dari suatu perzinaan tidak terima ditinggal oleh pihak pria sehingga melaporkan kepada kepolisian, namun tidak dilindungi dan diatur KUHP. Terlebih, akibat dari perzinaan bebas sangat merugikan masyarakat, seperti aborsi, kelahiran tanpa ayah, penyakit kelamin, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pemidanaan atas perzinaan sangat penting untuk diatur.
Selain itu, dalam Politik hukum pidana dikenal juga kebijakan non-penal dimana pendekatannya lebih kepada pendekatan sosial. Dalam kebijakan ini, pemerintah mulai harus memberikan edukasi untuk menjauhi seks bebas kepada masyarakat, serta membangun kegiatan-kegiatan positif lainnya untuk menjauhi masyarakat terutama anak-anak muda dari pergaulan bebas yang berdampak buruk bagi mereka.
Sebagai tambahan isu, sebagaimana diusulkan oleh pemohon perzinaan untuk merubah dari sebuah delik aduan absolut menjadi delik biasa akan melahirkan problematika overkriminalisasi. Delik aduan absolut dalam perzinaan menjadikan hanya pasangan sah perkawinan saja yanag dapat melaporkan suami atau istrinya yang telah melakukan perzinaan. Harus dipahami bahwa Utrecht ahli hukum pidana Belanda menyatakan delik aduan absolut diciptakan karena ada kemungkinan pemidanaan seseorang dapat merugikan korban juga. Dalam perzinaan hal ini penting karena perzinaan yang telah diproses pidana dapat berimplikasi pada citra korban atau kerugian lain pada korban, sehingga penting korban yang memutuskan mengadukan atau tidak. Bahkan dalam RUU KUHP perzinaan tetap menjadi delik aduan absolut. Dalam RUU KUHP juga mulai disusun bagaimana perzinaan dimana pelaku tidak memiliki ikatan perkawinan juga menjadi delik aduan, hanya saja yang mengadukan adalah “pihak berkepentingan” dimana ini bisa termasuk keluarga para pihak.
***
Ketua DPR Berstatus Tersangka
Muhammad Fatahillah Akbar
Dosen Hukum Pidana
Fakultas Hukum
Universitas Gadjah mada
Diterbitkan Jawa Pos 17 November 2017
Quid leges sine moribus bermakna apalah artinya hukum tanpa moralitas. Adagium itu pada dasarnya sangat cocok dengan babak kedua penetapan tersangka Setyo Novanto. Ada dua hal yang dapat dipelajari dan disoroti dalam ranah hukum pidana terkait tindakan Setyo Novanto dalam menghadapi penetapan tersangkanya. Pertama adalah bagaimana ketaatannya terhadap pemanggilan dirinya baik sebagai saksi maupun tersangka dan kedua terkait dengan statusnya sebagai Ketua DPR sekaligus Tersangka kasus korupsi.
SN beberapa kali menolak panggilan dalam Sprindik terbaru. Pada dasarnya, jika melihat Praperadilan yang digawai Hakim Cepi sebelumnya panggilan ini penting dipenuhi oleh SN. Pada perkara praperadilan sebelumnya, hakim Cepi mempermasalah Surat Perintah Penyidikan No. Sprin.Dik-56/01/07/2017 yang hanya berjarak satu hari dengan Surat No. 310/23/07/2017 tertanggal 18 Juli 2017, Perihal : Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, dimana SN ditetapkan sebagai Tersangka. Menjadi permasalahan bagaimana penetapan tersangka berjarak hanya satu hari dari dimulainya penyidikan. Hal ini dipertanyakan karena jika merujuk pada definisi penyidikan yang ditemukan dalam ratio decidendi (pertimbangan yang mengikat) dalam Putusan MK Nomor 21/PUUXII/ 2014, pada Paragraf 3.14 dinyatakan “Menurut Mahkamah pemeriksaan calon tersangka dan didukung dengan dua alat bukti diwajibkan sebagai bentuk perlindungan terhadap hak asasi dimana calon tersangka dapat memberikan keterangan yang seimbang.” Sehingga calon tersangka sangat penting untuk diperiksa dalam proses penyidikan. Sekalipun SN telah diperiksa pada perkara Irman dan Sugiharto, namun belum pernah diperiksa pada perkaranya sendiri yang dipisah dengan perkara lainnya. Namun, dengan pemanggilan yang sah tersebut, selayaknya sudah memenuhi ketentuan dalam Putusan MK tersebut dimana KPK telah memanggil tersangka.
Dalam perkara pidana umum saksi yang menolak pemanggilan dan dengan sengaja tidak hadir diancam dengan Pidana Pasal 244 KUHP. Dalam tindak pidana korupsi, bahkan saksi yang dengan sengaja tidak memberi keterangan diancam dengan pidana penjara minimum 3 tahun dan paling lama 12 tahun. Pidana tersebut jauh lebih besar dari KUHP. Terlepas daripada kewajiban sebagai saksi. Sebagai Ketua DPR yang memiliki peran penting dalam legislasi Undang-Undang tentu berkewajiban memberikan contoh ketaatan terhadap hukum, baik sebagai saksi ataupun tersangka, lebih baik menaati panggilan tersebut. Pembentuk aturannya saja tidak hadir, apalagi rakyatnya.
Terdapat argumentasi bahwa SN dapat berlindung kepada Presiden. Sebaiknya SN memahami lebih dalam mengenai UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Pada Pasal 245 UU MD3, pemanggilan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus melalui persetujuan Badan Kehormatan. Dalam tahapan ini, SN tidak memahami prosedur tersebut. Selain itu, SN tidak memahami bahwa Pasal 245 ayat (3) huruf c mengecualikan aturan tersebut untuk tindak pidana khusus. Tindak Pidana Korupsi yang diatur di luar KUHP, serta memiliki ketentuan menyimpang dari KUHP secara materiil sebagaimana diperbolehkan Pasal 103 KUHP dan menyimpang dari KUHAP secara formil sebagaimana dilegitimasi Pasal 284 KUHAP, sehingga jelas merupakan Tindak Pidana Khusus. Sederhananya, dalam pemanggilan KPK untuk SN, tidak ada alasan hukum apapun bagi SN untuk tidak hadir. Sekali lagi, selain daripada itu untuk menunjukan kehormatan sebagai ketua DPR, menunjukkan ketaatan terhadap hukum sangat krusial.
Selain posisi bagi SN untuk hadir sebagai tersangka maupun saksi, Partai Golkar dan Badan Kehormatan DPR harus mempertimbangkan status SN sebagai Ketua DPR. Dalam kaitannya dengan hal ini kita dapat melihat perbedaan yang dibuat oleh DPR dalam Undang-Undang KPK dan DPR. Pada Pasal 87 ayat (5) UU MD3 dinyatakan bahwa Pimpinan DPR diberhentikan sementara ketika statusnya adalah Terdakwa atau ketika dimana Pemeriksaan sidang di Pengadilan telah dimulai. Hal ini menjadi dasar bahwa SN sebagai tersangka tidak boleh diberhentikan sementara. Hal ini berbeda jauh dengan pengaturan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK). Pasal 32 ayat (2) UU KPK memberhentikan sementara Pimpinan KPK yang statusnya menjadi seorang tersangka. Dalam hal ini terlihat bahwa Ketua DPR diberhentikan sementara sebagai terdakwa, sedangkan pimpinan KPK harus diberhentikan sementara saat menjadi tersangka. Apakah KPK lebih terhormat dibandingkan DPR? Tentu tidak. Putusan MK Nomor 25/PUU-XIII/2015 pernah membahas tentang Pasal 32 ayat (2) UU KPK tersebut. Saat itu Bambang Widjojanto mantan Pimpinan KPK menggugat Pasal tersebut, namun MK menolak permohonan pengujian tersebut. Salah satu pertimbangan MK dalam Putusan tersebut adalah bahwa KPK adalah lembaga yang dibangun sebagai lembaga penegak hukum terpecaya, sehingga berdasarkan prinsip reparatoir-condemnatoir yakni menghukum sekaligus memperbaiki penting untuk memberhentikan secara sementara pimpinan KPK yang berstatus sebagai tersangka. Dimana dalam pemberhentian sementara terkandung sifat penghukuman namun juga terkandung bentuk perbaikan, yakni salah satunya untuk memulihkan hak-hak nya sebagai tersangka dan bilamana tidak terbukti dan status tersangkanya dicabut, maka pemberhentian sementaranya bisa dicabut. Prinsip reparatoir-condemnatoir seharusnya bisa diterapkan pada Pimpinan DPR. Pimpinan DPR merupakan profesi terhormat yang memimpin jalannya proses legislasi, pengawasan, dan budgeting yang sangat vital dalam berjalannya Negara ini. Seharusnya DPR sendiri melakukan review dan menerapkan equality before the law di antara semua pimpinan lembaga di Indonesia mengenai kapan mereka harus diberhentikan sementara di dalam posisi hukum yang sama, yakni tersangka. Untuk menjaga martabat DPR sudah selayaknya Pimpinan DPR diberhentikan dalam status sebagai tersangka. Sebagaimana adagium, apalah hukum tanpa moralitas. Hal terpenting adalah bukan bagaimana aturannya, namun, bagaimana seharusnya moral seorang pemimpin. Bukan merupakan contoh tokoh yang baik, namun Andi Malarangeng sebagai menteri saat itu mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai tersangka sekalipun itu tidak diwajibkan aturan hukum manapun.
***
Dewan Pendukung Rasuah
Muhammad Fatahillah Akbar
Dosen pada Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Diterbitkan di Jawa Pos 5 Juli 2017
Quis custodiet ipsos custodies? Who watches the watchers? Siapa yang mengawasi pengawas? Adagium ini sangat tepat kiranya disandingkan dengan fenomena KPK versus DPR. Dalam menjalankan fungsi pengawasannya DPR menggunakan hak angketnya secara irasional untuk mempertanyakan beberapa tindakan KPK terutama berkaitan dengan pemeriksaan kasus maha besar E-KTP. KPK dianggap sewenang-wenang dan keluar dari jalurnya sehingga DPR melalui sidang paripurna menyatakan setuju dibentuk Pansus Angket KPK yang diselenggarakan dengan dana yang tidak sedikit. Bahkan dalam prosesnya DPR mengancam membekukan anggaran KPK. Apakah KPK ditinjau dari sisi sistem peradilan pidana dapat bertindak sewenang-wenang.
Dalam sistem peradilan pidana, hukum pidana materiil dan formil harus diatur secara tegas dan rigid untuk mencegah adanya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan peradilan atau yang disebut oleh Jimly Assidiqie sebagai judicial tyranny. Barda Nawawi menyatakanSistem peradilan pidana di Indonesia sudah disusun secara terpadu yang melibatkan seluruh elemen penegak hukum. Dalam arti sempit Sistem Peradilan Pidana terpadu melibatkan penyelidik, penyidik, penuntut umum, hakim, dan eksekutor. Perbuatan sewenang-wenang tidak akan terjadi karena setiap institusi diawasi dan dikroscek langsung oleh institusi lainnya. Sebagai contoh hasil penyidikan yang telah disusun oleh penyidik akan diperiksa oleh penuntut umum dalam proses pra-penuntutan. Bentuk inilah yang dikenal dengan Pengawasan Yudisial. Bentuk pengawasan ini paling tepat diberikan dalam pelaksanaan peradilan.
Dalam tindak pidana korupsi, sistem peradilan pemberantasan korupsi lebih komprehensif dan rigid serta bersifat khusus. Selain Hukum materiil yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri yakni UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukum formil juga diatur sendiri dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Kekhususan yang diatur dalam Paket Undang-Undang Korupsi tersebut membentuk sistem pemberantasan korupsi yang jauh lebih komprehensif. Sebagai contoh, UU KPK mengatur bagaimana fungsi kordinasi dan supervise dapat KPK jalankan terhadap institusi lain, yakni Kepolisian dan Kejaksaan. Pengawasan yudisial dalam pemberantasan korupsi dibuat lebih komprehensif. Hasil akhir dari penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tipikor. Bahkan upaya paksa KPK juga masih merupakan domain lembaga praperadilan di bawah Pengadilan Negeri. Dalam hal ini, pengawasan yudisial sudah sangat cukup, perlukan pengawasan DPR untuk perkara-perkara tertentu?
Pertanyaan tersebut pada dasarnya telah terjawab di paragraf tersebut, namun ada baiknya dijawab dengan lebih komprehensif. KPK, sebagaimana sudah diamanatkan dalam UU 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001, yang kemudian disusun secara komprehensif dalam UU No. 30 Tahun 2002, adalah lembaga yang dilahirkan dan dibentuk sebagai lembaga independen. Perbedaan mendasar KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan adalah KPK tidak berada di bawah kekuasaan eksekutif. Pasal 3 UU KPK secara tegas menyatakan bahwa KPK “bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.” Tentu hal ini termasuk kekuasaan legislatif.
Dalam pembentukan Pansus Angket KPK yang hanya didasari pada Kasus-Kasus tertentu dimana angket fokus pada proses peradilan yang dilaksanakan KPK adalah tidak tepat. Dalam hal ini, KPK telah memiliki pengawasan yudisial. Praperadilan dapat menentukan benar atau tidaknya perbuatan KPK. Jika memang banyak pihak merasa dirugikan dalam penangkapan maupun penetapan sebagai tersangka akan lebih terasa legal dan gentlemen jika melalui proses peradilan itu sendiri tanpa melalui kekuasaan lainnya dalam hal ini legislatif. Bahkan ditegaskan dalam Pasal 9 huruf e UU KPK, bahwa KPK dapat mengambil alih perkara yang sedang dikerjaksan oleh Kepolisian atau Kejaksaan ketika ada kekuasaan eksekutif, legislative, maupun yudikatif yang menghambat proses penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi. Dengan begini menjadi tegas bahwa, DPR tidak dapat sewenang-wenang mempengaruhi proses peradilan tersebut. Bagi pihak-pihak yang terlibat dapat challenge tindakan KPK melalui pengawsan yudisial yang sudah disediakan, seperti Praperadilan dan Pengadilan Tipikor.
Legalitas hak angket juga harus dipertanyakan. Sebagaimana Pasal 79 ayat 3 UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan Undang-Undang dan/atau kebijakan pemerintah yang penting, strategis, dan berdampak luas. Dalam hal ini, pelaksanaan Pansus juga hanya didasari kepada suatu proses peradilan yang sangat jelas terlihat fokus pada kasus E-KTP dimana dengan tidak hadirnya Miryam saja membuat DPR mengancam membekukan anggaran KPK. Apakah hal tersebut dapat dikatakan strategis dan berdampak luas? Pemberhetian anggaran KPK malah dapat berdampak luas kepada masyarakat dimana koruptor dapat bertindak semakin liar. Namun, DPR sendiri siapa yang dapat melakukan pengawasan? Sebagai masyarakat kita harus berhati-hati dengan institusi yang tidak memiliki pengawasan. Lord Acton mengatakan “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.”
Status Terdakwa dalam Jabatan Tertentu
Muhammad Fatahillah Akbar
Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Diterbitkan oleh Jawa Pos 6 Maret 2017
“A Rule becomes law only if it has fulfilled some moral criterion, and not merely because it complies with formal requirement.” Pendapat tersebut dikemukakan oleh Fuller dalam buku Jurisprudence: an Outline. Dalam pandangan tersebut, harus dimaknai bahwa moral adalah komponen penting untuk membentuk hukum. Permasalahan mengenai Pilkada kemudian sempat menyorot aktif kembalinya Gubernur DKI yang saat ini masih berstatus sebagai seorang terdakwa. Hal ini kemudian menciptakan diskursus berkepanjangan yang tidak hanya melibatkan masyarakat yang mengidolakan Gubernur DKI petahana dengan masyarakat pembela Cagub lain, melainkan juga melibatkan para pakar hukum. Untuk menjawab permasalahan tersebut, tulisan ini akan membedah bagaimana pemidanaan berpengaruh terhadap jabatan publik dari perspektif hukum pidana.
Dalam perkembangannya, politik hukum di Indonesia sudah menunjukkan bahwa status seseorang dalam suatu sistem peradilan pidana, baik sebagai tersangka, terdakwa, terpidana, maupun mantan terpidana memiliki dampak terhadap jabatan publik tertentu. Proses tersebut dapat berpengaruh dalam proses pencalonan atau sebagai dasar pemberhentian. Dalam permasalahan Gubernur DKI kita akan berbicara bentuk Pemberhentian. Pada praktiknya dalam perkara Gubernur Sumatera Utara, Banten, dan beberapa kepala daerah lain yang menjadi tersangka tindak pidana korupsi dalam hitungan hari setelah menjadi tersangka surat pemberhentian sementara mereka aktif. Hal ini kembali menjadi permasalahan karena bahkan status terdakwa saja belum mereka alami sewaktu memperoleh pemberhentian sementara tersebut.
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut mari kita melihat bagaimana status dalam proses pidana mempengaruhi jabatan administratif melalui beberapa Putusan MK. Pada tahun 2009, Bibit dan Chandra yang saat itu menjabat sebagai pimpinan KPK mengajukan pengujian Pasal 32 ayat (1) huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan ‘Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena: menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan‘. Saat itu Putusan MK Nomor 133/PUU-VII/2009 mengabulkan permohonan mantan pimpinan KPK itu dengan membentuk putusan konstitusional bersyarat yang menyatakan bahwa pimpinan KPK diberhentikan setelah mendapatkan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau secara sederhana jika sudah dikatakan sebagai Terpidana. Dalam Putusan ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa sebelumnya Pimpinan KPK yang berstatus sebagai Terdakwa harus berhenti secara tetap, namun dengan perubahan itu cukup menunggu hingga statusnya beralih menjadi Terpidana. Salah satu landasan filosofis dari putusan ini adalah asas Presumption of Innocence atau praduga tak bersalah. Namun, hal ini adalah mengenai pemberhentian tetap dan proses peradilan pidana bisa berjalan sangat lama terutama jika telah menyentuh perkara kasasi di MA yang tidak memiliki batas waktu pemeriksaan.
Dalam perkembangan diskursus Gubernur DKI adalah mengenai pemberhentian sementara. Dalam hal ini, dapat melihat perbandingan pada Putusan MK Nomor 25/PUU-XIII/2015 tentang Pasal 32 ayat (2) UU KPK yang memberhentikan sementara Pimpinan KPK yang statusnya menjadi seorang tersangka. Saat itu Bambang Widjojanto mantan Pimpinan KPK menggugat Pasal tersebut, namun MK menolak permohonan pengujian tersebut. Salah satu pertimbangan MK dalam Putusan tersebut adalah bahwa KPK adalah lembaga yang dibangun sembagai lemebaga penegak hukum terpecaya, sehingga berdasarkan prinsip reparatoir-condemnatoir yakni menghukum sekaligus memperbaiki penting untuk memberhentikan secara sementara pimpinan KPK yang berstatus sebagai tersangka. Dimana dalam pemberhentian sementara terkandung sifat penghukuman namun juga terkandung bentuk perbaikan, yakni salah satunya untuk memulihkan hak-hak nya sebagai tersangka dan bilamana tidak terbukti dan status tersangkanya dicabut, maka pemberhentian sementaranya bisa dicabut. Sehingga dalam hal ini dapat diartikan bahwa status tersangka pada lembaga tertentu saja bahkan dapat menghentikan sementara jabatannya.
Menjadi pertanyaan kemudian, apakah Pimpinan KPK bisa dipersamakan dengan Kepala Daerah. Untuk menjawab hal itu, kita dapat mengambil nilai dalam Putusan MK Nomor 14-17/PUU-V/2007 mengenai persyaratan sebagai calon kepala daerah. MK dalam putusannya menyatakan bahwa sebagai elected officials maka status terpidana walaupun sudah menjalani pidananya tidak dapat mencalonkan diri sampai 5 tahun setelah yang bersangkutan menjalani pidananya. Salah satu pertimbangan dalam Putusan tersebut adalah “pemilihan kepala daerah tersebut tidaklah sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul segala resiko pilihannya.” Hal ini terkandung makna bahwa elected officials merupakan jabatan yang langsung bertanggungjawab terhadap rakyat yang memilih sehingga dalam proses pencalonannya saja, statusnya dalam proses pidana harus diperlihatkan secara tegas dan ada larangan dalam kondisi tertentu. Hal ini kemudian diperkuat pada Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan Kepala Daerah diberhentikan sementara oleh Presiden jika menjadi Terdakwa pada surat Dakwaan dengan ancaman pidana paling singkat 5 tahun atau lebih. Pelaksanaan Pasal 83 ayat (1) tersebut kemudian menimbulkan berbagai permasalahan. Dalam definisi Terdakwa sudah jelas adalah ketika surat Dakwaan dibacakan di persidangan. Untuk ancaman pidana dapat merujuk pada Pasal yang dicantumkan dalam surat dakwaan. Pertanyaan kemudian apakah yang dimaksud dengan “paling singkat”. Dalam hukum pidana, kita mengenal tiga bentuk ancaman pidana, yakni indeterminate sentence (menggunakan ancaman maksimum khusus), indefinite sentence (Menggunakan ancaman minimum khusus dan maksimum khusus), dan definite sentence (bentuk pidana yang pasti). Harus dapat dipahami maksud dari paling singkat 5 tahun adalah perbuatan yang diancam pidana dengan ancaman maksimal 5 tahun atau lebih bukan sebaliknya yakni yang menggunakan minimum khusus 5 tahun penjara. Ancaman minimum 5 tahun penjara hanya ada pada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh karena itu, jika Gubernur diancam dengan pidana 5 Tahun atau lebih dapat memenuhi Pasal 83 ayat (1) untuk kemudian diberhentikan sementara. Pada UU KPK saja untuk menjaga wibawa Pimpinan KPK dan menjaga Jabatannya status Tersangka sudah cukup untuk memberhentikan sementara. Dalam hal ini, status Terdakwa pada Gubernur tidak lagi menjadi perdebatan jika masih ingin menjaga wibawa dan jabatan Gubernur itu sendiri untuk mencapai tujuan pidana dari konsep pemberhentian tersebut. Jika hal ini diteruskan dapat menjadi preseden yang merugikan rakyat yang dipimpin oleh seseorang dalam suatu Proses Pidana dan memperlambat proses pidananya.
Sulitnya untuk Korupsi
Muhammad Fatahillah Akbar
Dosen pada Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Diterbitkan Jawa Pos 12 Februari 2017.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 tentang Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) tertanggal 25 Januari 2017 merupakan Putusan yang akan sangat mempengaruhi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Mahkamah Konstitusi tidak hanya kali ini mengeluarkan keputusan yang berpengaruh besar terhadap pemberantasan korupsi, salah satu Putusan MK yang berkaitan dengan Putusan MK ini adalah Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006. Kedua Putusan MK tersebut saling terkait, namun memiliki perbedaan yang cukup signifikan dimana pada Tahun 2006 MK sepakat menyatakan bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah delik formil dan 10 tahun kemudian, MK menyatakan bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah delik materiil. Menjadi pembahasan adalah apakah klasifikasi delik yang tepat untuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada tahun 2006, sebuah pengujian dibawa ke hadapan Mahkamah Konstitusi mengenai unsur “dapat” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Pada Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 dinyatakan bahwa delik pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK diklasifikasikan sebagai delik formil yang cukup dibuktikan dengan pemenuhan keseluruhan rumusan delik. Kerugian Negara dan atau Kerugian perekonomian Negara tidak selalu perlu menjadi material loss tetapi juga cukup menjadi potential loss karena terdapat unsur kata “dapat” sebelum kerugian tersebut. Pada Putusan MK tersebut, dipertegas bahwa bentuk delik Pasal 2 dan 3 adalah delik materiil dengan mencabut kata “melawan hukum materiil” dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK yang menyatakan bahwa melawan hukum dapat berupa melawan hukum materiil dan formil. Salah satu pertimbangan yang penting adalah bahwa mencegah adanya kerugian dalam tindak pidana korupsi penting sehingga penting untuk mengatur potential loss dari pada material loss sehingga diperlukan adanya unsur “dapat.” Hal ini juga dikaitkan dengan Pasal 4 UU PTPK yang mengatur bahwa pengembalian uang Negara tidak menghapuskan pemidaan. Dalam hal ini, pertimbangan tersebut dianggap tepat sehingga mempertahankan unsur ”dapat” adalah sangat penting. Namun, 10 Tahun kemudian belum tentu sama.
Di awal tahun 2017, MK mengeluarkan putusan yang pada dasarnya didasarkan pada pengujian yang tidak jauh berbeda mengenai unsur “dapat” pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Jika kita merujuk Pada Pasal 60 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dirubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (UU MK), seharusnya pengujian materi yang sama dalam hal ini unsur “dapat” pada Pasal 2 dan Pasal 3 tidak diperbolehkan. Namun, Pasal 60 ayat 2 UU MK memberikan pengecualian jika pengujian menggunakan dasar pengujian yang berbeda, maka hal tersebut tetap dapat dilakukan. Dalam hal ini, MK secara sederhana mengatakan bahwa pengujian kembali Pasal 2 dan 3 UU PTPK adalah memenuhi syarat formil dengan batu uji yang berbeda dengan tahun 2006. Selain, itu pada dasarnya perkembangan peraturan perundang-undangan dan pemberantasan korupsi yang kemudian menjadi dasar bahwa Pengujian Nomor 25 tahun 2016 ini tetap dapat dilanjutkan.
Salah satu dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi adalah dibentuknya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP). Dengan dibentuknya UU ini, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan, penegakan hukum pidana adalah sarana terakhir atau the last resort sebagaimana menganut prinsip ultimum remidium karena yang diutamakan adalah pengembalian keuangan Negara ketimbang penegakan hukum pidana sebagaimana berkaitan dengan pengaturan pada Pasal 20 ayat 4, Pasal 21, Pasal 70 ayat 3, dan Pasal 80 ayat 4 UU AP. Pada dasarnya pertimbangan MK ini cukup bertentangan dengan dasar lahirnya UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang PTPK dimana nilai yang terkandung adalah Primum Remidium dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Hal ini dipertegas dalam Pasal 4 UU PTPK yang menyatakan bahwa pengembalian uang Negara tidak menghapus proses pidananya. Pengaturan tersebut mempertegas bahwa hukum pidana adalah alat utama (the only resort) dalam penegakan tindak pidana korupsi. Terlepas dengan pertimbangan mengenai ultimum remidium, fokus penegakkan hukum untuk memperoleh pengembalian kerugian Negara atau asset recovery adalah salah satu yang perlu diperkuat dalam UU PTPK. Pengembalian keuangan Negara tetap harus berjalan dengan proses pemidanaanya.
Selain pertimbangan mengenai prinsip ultimum remidium, pertimbangan mengenai klasifikasi delik yang tepat perlu dikaji. Delik formil sebagaimana diperkuat oleh Putusan MK tahun 2006 adalah untuk mempermudah proses pembuktian. Dengan Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 menjadikan Pasal 2 dan 3 UU PTPK sebagai delik materiil dimana menitikberatkan kepada akibat dalam hal ini adalah kerugian keuangan Negara dan atau perekonomian Negara. Sebelumnya, dengan unsur “dapat” kerugian Negara dapat berupa potential loss sehingga sebelum kerugian terjadi lebih jauh atau masih dapat berupa potensi penegakkan hukum dapat dilaksanakan. Namun, sejak kata “dapat” dihapus, kerugian Negara harus berupa material loss sehingga pada praktiknya hal ini dapat berbahaya. Kerugian Negara tersebut harus telah terjadi dan pengembalian atau proses recovery dalam hal ini akan lebih sulit daripada ketika masih berupa potential loss. Jika memang dalam Putusan MK tersebut didasari bahwa, Pejabat Negara menjadi takut dan terhambat dalam menciptakan kebijakan, solusi yang tepat adalah memberi batasan yang jelas kapan dan dalam hal apa sebuah kebijakan memenuhi tindak pidana korupsi atau tidak dalam ranah Hukum Administrasi Negara. Menghapus unsur “dapat” malah dapat menciptakan pembuktian tindak pidana korupsi yang semakin rumit.
***
Lemahnya Keamanan Nasional
Thursday, 17 February 2011
HENRI Nowten menyatakan seakan-akan konsep zoon politicon bahwa manusia membutuhkan manusia lain mulai terkikis perkembangan zaman.
Memasuki era modern, masyarakat lebih egois me-mikirkan kepentingan masing-masing dan bila terdapat perbuatan yang mengganggu kepentingan mereka, tidak dapat dielakkan terjadinya kekerasan dengan korban yang bahkan satu keluarga, agama, negara, ras, dan sebagainya. Jadi konflik yang terjadi belakangan ini yang mengaitkan pihak-pihak beda agama tidaklah aneh karena pada dasarnya dalam satu agama saja sering terjadi pertentangan, bahkan dalam satu mazhab agama juga bisa terjadi.Luar biasa.
Memahami konsep tersebut, kita perlu melihat yang bertanggung jawab dalam perkara tersebut. Pada dasarnya JJ Rousseau dalam teori perjanjian negara yang dia cetuskan menganggap bahwa negara itu tercipta adalah dengan persetujuan dari masyarakat (du contract social). Mereka mengadakan suatu musyawarah untuk membentuk negara dan pemerintahan yang akan mengatur dan menjamin kepentingan individual mereka sehingga kehidupan mereka secara individual dapat terjamin.
Dengan melihat dasar dibentuknya negara, sudah merupakan keharusan negara sebagai pemegang tanggung jawab tersebut melaksanakan kewajibannya secara maksimal untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Salah satu tujuan klasik yang merupakan raison d’etre dari kehadiran negara adalah menjamin keamanan negara, selain mewujudkan kemakmuran. Dengan terwujudnya keamanan yang baik, negara akan berujung pada kesejahteraan rakyat.
Negara seharusnya membentuk sebuah sistem keamanan untuk melindungi segenap masyarakatnya tidak hanya melindungi serangan dari luar negara, tetapi juga dari serangan atau saling serang yang terjadi dalam masyarakatnya. Dengan sebuah sistem keamanan nasional, penanganan kekerasan dalam masyarakat bisa teratasi dengan baik. Pada dasarnya konsep keamanan nasional ini bersifat preventif dan represif.
Dalam hal preventif, dengan bekerjanya seluruh aktor Keamanan Nasional seperti BIN,Polri,dan TNI, segara dapat diketahui konsep-konsep kekerasan yang sedang diorganisasi sehingga dapat dilakukan pencegahan yang diperlukan.Dalam hal represif, di kala terjadi kekerasan,koordinasi yang baik antara Polri dan TNI penentunya sehingga efek kerugian yang ditimbulkan akan berkurang karena dapat dengan lebih cepat ditangani.
Sampai saat ini penanganan terasa lambat dikarenakan fungsi koordinasi yang buruk antara kedua lembaga tersebut.Penindakan para pelaku pada proses peradilan akan cepat bila antara Polri dan TNI juga bekerja sama dengan baik. Dalam hal ini untuk pencegahan dan agar maksimal dalam menangani kekerasan yang terjadi dalam masyarakat, merupakan keniscayaan untuk menciptakan sebuah konsep keamanan nasional yang luar biasa. Menciptakan keamanan nasional yang baik akan berujung pada kesejahteraan masyarakat.(*)
MF Akbar
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada
Masuk SINDO Lho,,
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/382435/
ada di koran SINDO,
Kamis, 17 Februari 2011
Hukuman Maksimal bagi Mafia Hukum
“NEMO prudens punit quia peccatum est, sed ne peccatur”(tidak seorang normal pun dipidana karena kejahatan yang telah diperbuat, tetapi untuk membasmi kejahatan itu sendiri).
Demikian adagium ciptaan seorang filsuf Romawi bernama Seneca.Tujuan dijatuhkannya pidana adalah semata-mata untuk membasmi kejahatan itu sendiri. Dalam menjalankan upaya penal policy atau kebijakan pemidanaan dibentuk perundangan-undangan yang memberikan sanksi pidana bagi kejahatan yang telah melalui proses kriminalisasi. Penal policy tersebut dibagi dalam ranah materiil dan ranah formil.
Dalam penerapannya, perundang-undangan seperti KUHP,KUHAP, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang Pencucian Uang, serta undang-undang lainnya banyak mengalami penyimpangan yang dilakukan oleh mafia hukum.Bentuk perbuatan tersebut bisa dalam bentuk korupsi,suap,serta hal-hal melanggar hukum lainnya.
Satgas Mafia Hukum yang dibentuk oleh Presiden sebagai upaya pemberantasan mafia hukum mendefinisikan mafia hukum sebagai semua tindakan oleh perorangan atau kelompok yang terencana untuk kepentingan tertentu yang memengaruhi penegak hukum dan pejabat publik yang menyimpang dari ketentuan hukum yang ada.Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa mafia hukum menghinggapi seluruh proses dalam sistem peradilan pidana,yaitu proses formulasi,aplikasi,dan eksekusi.
Proses formulasi merupakan proses pembentukan perundangundangan. Dalam konteks politik Indonesia, proses pembuatan UU yang dilakukan oleh wakil rakyat bisa berpotensi bertentangan dengan hukum, apabila dalam praktiknya terjadi jual beli pasal dalam penyusunan UU. Proses aplikasi adalah yang lebih banyak disusupi oleh para mafia hukum karena mereka mampu memengaruhi proses penyidikan hingga putusan pengadilan.
Kasus Gayus Tambunan menjadi contoh bagaimana aplikasi sistem peradilan pidana disusupi oleh mafia. Terakhir, proses eksekusi atau pelaksanaan putusan tidak kalah banyak menyimpang karena dipengaruhi oleh mafia hukum. Sebagai contoh kasus ini ialah terpidana kasus suap BLBI Artalyta Suryani yang selnya dipenuhi barang-barang mewah. Persoalannya, mengapa hukum kita begitu mudah disusupi mafia hukum? Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya efek jera bagi mereka para pelanggar hukum yang ditunjukkan dengan eksekusi putusan yang cenderung minimal.
Dalam hal ini, UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur dan memberikan ancaman pidana yang cukup tinggi bagi para pelaku tindak pidana korupsi bahkan diancam hukuman mati. UU Tindak Pidana Korupsi memberikan banyak celah bagi kejahatan yang dapat ”dimanfaatkan”oleh mafia hukum.
Sebagai contoh,perbuatan yang merupakan delik formil memaksa hakim konstitusi mengubah sifat melawan hukum dalam korupsi menjadi sifat melawan hukum formil. Konsekuensinya, sifat melawan hukum harus berada dalam perundangundangan, berbeda dengan melawan hukum materiil yang dapat menggunakan sifat melawan hukum dalam masyarakat. Contoh kedua,pidana mati hanya dapat dijatuhkan terhadap korupsi dalam keadaan tertentu.
Sampai saat ini belum pernah terjadi tuntutan pidana mati terhadap koruptor bahkan pidana yang dijatuhkan relatif kecil. Maka, perlu ada penguatan penal policy yang lebih baik lagi dalam pemberantasan mafia hukum. Dalam United Nation Convention Againts Corruption yang telah diratifikasi UU No 7 Tahun 2006, korupsi diakui sebagai kejahatan kemanusiaan karena telah merusak berbagai dimensi kehidupan masyarakat sehingga pidana mati diperlukan dalam memberantas mafia hukum.(*)
MF Akbar
Mahasiswa Ilmu Hukum
Bagian Hukum Pidana
Universitas Gadjah Mada
masuk Seputar Indonesia Edisi Cetak 17 November 2011
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/364447/
Memperkuat Lembaga Praperadilan dibandingkan melahirkan Hakim Komisaris
HET Recht Hink Achter de Feiten Aan, hukum selalu terpincang-pincang di belakang zaman. Asas tersebut memberi makna bahwa suatu pembentukan hukum akan sangat sulit jika harus selalu sesuai dengan zaman.
Asas tersebut diperkuat oleh pendapat Von Savigni yang menyatakan bahwa hukum harus menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat, bukan sebaliknya.
Pendapat Von Savigny tersebut bila dipersingkat menjadi Ubi Societas Ibi Ius, di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Asas-asas hukum di ataslah yang melatarbelakangi adanya rancangan Undang-undang KUHAP untuk menggantikan undang-undang nomor 8 tahun 1981 yang sudah usang di masyarakat Indonesia.
Pemerintah dan DPR yang membentuk panitia penyusun rancangan Undang-undang KUHAP tersebut telah melakukan hal yang benar untuk mengganti KUHAP saat ini, karena jelas hukum harus terus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Akan tetapi, perubahan tersebut harus tetap pada latar belakang pembentukan hukum tersebut, yaitu menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat Indonesia saat ini. Dalam pembentukkannya timbul konsep dalam RUU KUHAP yang kontroversial saat ini, yaitu konsep hakim komisari.
Pada 1979, RUU KUHAP pertama kali diajukan oleh pemerintah di bawah Kementrian Kehakiman ke DPR untuk dibentuk suatu Undang-undang. Dalam pembentukannya tersebut, konsep yang paling merebak di masyarakat adalah konsep hakim komisaris.
Konsep hakim komisaris ditolak oleh beberapa kalangan praktisi hukum seperti, Peradin, akademisi, bahkan kalangan pers. Akhirnya pemerintah memberi masukan untuk mengubah rancangan undang-undang tersebut dengan menerima masukan berbagai kalangan penegak hukum dalam sub-sub sistem peradilan pidana Indonesia serta masyrakat pada umumnya.
Pada 1980 Konsep hakim komisaris, diakomodir menjadi konsep lembaga praperadilan. Tahun 1981 KUHAP diundangkan dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Konsep lembaga praperadilan yang dibentuk tersebut diambil dari konsep “Habeus Corpus Act”. Konsep ini berawal dari suatu surat di eropa dalam suatu sistem peradilan anglo-saxon yang berisi “Si tahanan berada dalam penguasaan Saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukan alasan yang menyebabkan penahanannya”.
Prinsip dasar harbeus corpus ini memberikan inspirasi untuk menciptakan suatu forum yang memberikan hak dan kesempatan kepada seseorang yang sedang menderita karena dirampas atau dibatasi kemerdekaannya untuk mengadukan nasibnya sekaligus menguji kebenaran dan ketepatan dari tindakan kekuasaan berupa penggunaan upaya paksa (dwang middelen), baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-surat yang dilakukan oleh pihak kepolisian ataupun kejaksaan ataupula kekuasaan lainnya.
Dalam perjalanannya, Lembaga Praperadilan yang lahir tahun 1981 ternyata saat ini sudah dianggap tidak lagi cocok dengan Perkembangan Indonesia saat ini. Ketidak cocokan itu antara lain adalah lembaga praperadilan saat ini tidak memeriksa seluruh upaya paksa, hanya memeriksa syarat formil tanpa hal subtanstif, bersifat pasif menuggu gugatan dan kelemahan-kelemahan lainnya. Kelemahan-kelemahan yang ada dalam lembaga praperadilan tersebut menunjukan bahwa Lembaga praperadilan tidak sesuai lagi dengan Indonesia yang menjunjung tinggi HAM.
Berdasarkan hal tersebut, maka konsep Hakim Komisaris kembali dihidupkan dalam RUU KUHAP. Akan tetapi konsep tersebut merupakan konsep yang sangat kontroversial karena konsep tersebut akan menghapus secara penuh lembaga praperadilan.
Konsep lembaga praperadilan yang telah menjadi legal culture di dalam masyrakat Indonesia jika dicabut akan berimplikasi pada Sistem Peradilan Pidana secara keseluruhan. Konsep hakim komisaris juga hanya berpacu pada due process model yang menekankan pada perlindungan terdakwa.
Padahal, filosofis sistem peradilan pidana yang merupakan perpaduan antara due process model dan crime control model yang bertujuan pada perlindungan kepentingan terdakwa, korban, dan masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu, lembaga praperadilan itu harus tetap dipertahankan karena bertujuan pada filosofis sistem peradilan pidana Indonesia, sehingga konsep hakim komisaris dalam RUU KUHAP sekali lagi harus dihilangkan.
Namun, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, yaitu Lembaga Praperadilan tetap dipertahankan hanya saja diperkuat dengan konsep hakim komisaris yang diajukan dalam RUU KUHAP sehingga tujuan sistem peradilan pidana dapat dicapai. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diciptakan masyarakyat yang tertib dan teratur untuk Indonesia yang sejahtera.
M F Akbar
Mahasiswa Bagian Hukum Pidana
Universitas Gadjah Mada
telah dimuat di okezone.com pada tanggal 30 April 2010.
http://kampus.okezone.com/read/2010/04/30/95/327959/memperkuat-lembaga-praperadilan-dari-konsep-hakim-komisaris
Tembak Mati baga Para Koruptor
TEMBAK mati merupakan prosedur pelaksanaan pidana mati yang telah dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 2 PNPS tahun 1964. Pidana mati merupakan hal yang lazim digunakan dari zaman Raja Hammurabi, pengkodifikasi hukum pertama kail hingga sekarang.
Namun kontroversi yang timbul adalah pidana mati tidak lagi relevan dengan Indonesia yang menjungjung tinggi hak hidup sebagai non derogable right sebagaimana telah dirumuskan dalam UUD hasil amandemen.
Pasal 28 A Konstitusi kita UUD 1945 menyatakan, setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Pasal tersebut diperkuat oleh pasal yang terdapat dalam bab yang sama, pasal 28 I ayat 1 yang intinya menyatakan bahwa hak hidup merupakan non derogable right atau suatu hak yang tidak dapat dikurangi suatu apapun. Akan tetapi hak-hak tersebut tidaklah benar-benar mutlak. Masih dalam bab yang sama, Pasal 28 J ayat 2 menekankan pada hak-hak tersebut dapat diberikan pembatasan, ini diperkuat oleh tafsir Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitusi dalam putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007. Pasal tersebut menyebutkan, bahwa setiap pasal 28 J ayat 2 memberikan pembatasan kepada semua hak dalam Bab XA UUD 1945 termasuk didalamnya pasal 28A dan 28I ayat 1. Oleh karena itu pidana mati merupakan hal yang konstitusional atau berdasar Undang-undang Dasar 1945.
Pidana mati merupakan keniscayaan sebagai bentuk pemidanaan, dengan tujuan tetap mengakui dan menghormati hak dan kebebasan orang lain sebagaimana termaktub dalam tujuan pembatasan dalam pasal 28J ayat 2 UUD 1945. Oleh karena itu, pidana mati dapat diberlakukan kepada kejahatan-kejahatan yang telah melanggar hak dan kebebasan orang lain. Dalam artikel ini, penulis akan membuktikan bahwa pidana mati merupakan sebuah keniscayaan diberlakukan pada tindak pidana korupsi.
Korupi menurut The Lexicon (1978) dalam Andi Hamzah (1984) dalam buku “Negara Bersih dari Korupsi” mengartikan korupsi sebagai sesuatu perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, dan tidak bermoral, tidak jauh berbeda Senturia (1993) dalam Jeremy Pope (2003) mengatakan korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan, kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Masih banyak definisi lainnya, yang pada intinya dapat kita sepakati bahwa korupsi merupakan hal yang buruk dan harus diberantas.
Berdasarkan UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 mendefinisikan kejahatan korupsi dalam tiga unsur. Pertama, perbuatan yang melawan hokum. Kedua, perbuatan yang dimaksudkan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Ketiga, perbuatan yang dapat merugikan keuangan Negara. Perbuatan korupsi yang memenuhi unsur delik diatas dapat diberikan hukuman mati bagi pelakunya apabila perbuatan tersebut dilakukan dalam keadaan tertentu.
Keadaan tertentu tersebut dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 Undang-undang tindak Pidana Korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Ketika koruptor melakukan perbuatan korupsinya dalam keadaan tersebut dapat dijatuhi pidana mati. Maka sudah sepatutnya dikaji apakah pasal tersebut sudah secara niscaya diberlakukan terhadap pelaku korupsi.
Berdasarkan United Nation Convetion Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2006 korupsi dinyatakan sebagai Crimes Against Human Right atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Korupsi dapat dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dikarenakan kerupsi merusak beberapa hal yaitu; Merusak Demokrasi, Merusak Aturan Hukum, Merusak Pembangunan Berkelanjutan, Merusak Pasar, Merusak Kualitas Hidup, dan Merusak HAM. Dalam penjelasan UU KPK juga dikatakan bahwa korupsi merupakan Extra Ordinary Crime, sehingga jelas dibutuhkan sebuah Extra Ordinary Solution.
Berdasarkan uraian panjang di atas jelas bahwa pasal 2 ayat 2 jelas telah tepat diberlakukan untuk para koruptor, yaitu sebuah pidana mati. Ketika kita masih menjungjung sila ke dua “kemanusiaan yang adil dan beradab” maka jelas sanksi yang tepat bagi kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pidana mati.
Ketika dalam sebuah tujuan pemidanaan untuk menciptakan sebuah tertib hokum dalam masyrakat maka pidana mati adalah hal yang tepat dalam tindak pidana korupsi. Bahkan Keadaan tertentu dalam pasal 2 ayat 2 harus diperluas sebagaimana unsur-unsur yang terdapat dalam UNCAC. Sehingga seluruh korupsi yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan harus dipidana mati.
MF Akbar
Mahasiswa Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
dimuat di
tulisan ini dimuat pada media Okezone.com pada 1 April 2010.
http://kampus.okezone.com/read/2010/04/01/95/318313/95/tembak-mati-bagi-para-koruptor
Ancaman Pidana Mati pada Korupsi Bencana Alam
PRAY for Indonesia.
Kalimat tersebut merupakan sebuah rangkaian kata yang memberikan makna dukungan bagi Indonesia yang telah dirundung berbagai bencana. Gunung Merapi yang meletus, Tsunami di Mentawai, banjir bandang di Wasior, serta berbagai bencana yang memang merupakan kehendak tuhan. Kalimat tersebut bahkan muncul dalam dunia Internasional.
Pada akhirnya tidak hanya dari Indonesia, tetapi dari dunia internasional terhisap magnet Pray for Indonesia. Bantuan untuk para korban bencana alam kemudian mulai tersalurkan dengan jumlah miliaran, bahkan triliunan rupiah. Hal ini memacu pemerintah pusat maupun daerah setempat daerah terjadinya bencana untuk mengkordinir penggalangan dana tersebut.
Dalam pengelolaan dana tersebut tidak dapat dipungkiri terjadinya penyimpangan. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan di Indonesia telah memeberikan ancaman yang tinggi pada para pelaku penyimpangan dana di saat bencana tersebut, Ancaman Pidana Mati.
Pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta rupiah dan paling banyak Rp1 miliar rupiah. Dari pasal tersebut dapat diambil tiga unsur utama dalam tindak pidana korupsi.
Sifat melawan hukum, perbuatan yang memperkaya diri sendiri, korporasi, atau orang lain, dan terakhir dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pada pengelolaan dana bencana sangat dimungkinkan seorang pengelola mengambil dana tersebut sebagian tanpa prosedur yang benar. Hal tersebut disebabkan dana bencana yang pengelolaannya diadakan secara isidentil, belum terkordinasi dan terawasi dengan baik. Dalam hal tersebut unsur melawan hukum telah terpenuhi.
Seorang pengelola dana tersebut sangat dimungkinkan berkordinasi dalam suatu kelompok pada proses penyimpangan terhadap dana tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah pengambilan uang. Motivasi-motivasi yang timbul jelas untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi atau kelompok yang melakukan penyimpangan tersebut. Dalam hal ini unsur menguntungkan diri sendiri, korporasi, atau orang lain telah terpenuhi.
Pemerintah merupakan pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab dalam Penanganan Bencana alam. Oleh karena itu, segala dana dari dalam maupun luar negeri selayaknya merupakan tanggung jawab negara.
Penyimpangan dana yang dilakukan terhadap dana penganggulangan bencana dapat merugikan Negara dalam melakukan penanggulanan bencana alam. Oleh karena itu, jelas terdapat unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam penyimpangan dana bencana alam.
Dalam setiap rumusan delik korupsi sangat cocok dengan penyimpangan dana bencana alam. Hanya saja sanksi dalam pasal 2 ayat 1 UU PTPK paling tinggi hanyalah pidana seumur hidup. Keadaan bencana alam merupakan alasan pemberat yang seharusnya dapat menambah sanksi pidana.
Pada pasal 2 ayat 2 Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi (PTPK) dinyatakan “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Pada pasal ini jelas terlihat peluang dijatuhkannya sanksi pidana mati pada tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu perlu diperjelas klausul dalam keadaan tertentu. Pada penjelasan pasal 2 ayat 2 tersebut dinyatakan “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, Bencana Alam Nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Pada dasarnya jelas ketika penyimpangan dana bencana alam dalam bentuk tindak pidana korupsi dilakukan, maka pidana mati merupakan pilihan pidana satu-satunya yang dimiliki oleh seorang hakim dalam menegakan keadilan. Hal tersebut didasari untuk menutup dan memberikan ketakutan pada setiap orang untuk melakukan tindak pidana korupsi dalam kondisi bencana alam.
Harapannya semoga penaggulangan bencana alam di Indonesia tidak diwarnai tindak pidana korupsi. Sehingga penanggulangan bencana alam di Indonesia berjalan lancar dan segera terselesaikan.
Fiat Justicia et Pereat et Mundus
M.F. Akbar
Mahasiswa Fakultas Hukum
Bagian Hukum Pidana
Universitas Gadjah Mada
dimuat di okezone.com pada 11 November 2010.