Hukuman Maksimal bagi Mafia Hukum
“NEMO prudens punit quia peccatum est, sed ne peccatur”(tidak seorang normal pun dipidana karena kejahatan yang telah diperbuat, tetapi untuk membasmi kejahatan itu sendiri).
Demikian adagium ciptaan seorang filsuf Romawi bernama Seneca.Tujuan dijatuhkannya pidana adalah semata-mata untuk membasmi kejahatan itu sendiri. Dalam menjalankan upaya penal policy atau kebijakan pemidanaan dibentuk perundangan-undangan yang memberikan sanksi pidana bagi kejahatan yang telah melalui proses kriminalisasi. Penal policy tersebut dibagi dalam ranah materiil dan ranah formil.
Dalam penerapannya, perundang-undangan seperti KUHP,KUHAP, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang Pencucian Uang, serta undang-undang lainnya banyak mengalami penyimpangan yang dilakukan oleh mafia hukum.Bentuk perbuatan tersebut bisa dalam bentuk korupsi,suap,serta hal-hal melanggar hukum lainnya.
Satgas Mafia Hukum yang dibentuk oleh Presiden sebagai upaya pemberantasan mafia hukum mendefinisikan mafia hukum sebagai semua tindakan oleh perorangan atau kelompok yang terencana untuk kepentingan tertentu yang memengaruhi penegak hukum dan pejabat publik yang menyimpang dari ketentuan hukum yang ada.Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa mafia hukum menghinggapi seluruh proses dalam sistem peradilan pidana,yaitu proses formulasi,aplikasi,dan eksekusi.
Proses formulasi merupakan proses pembentukan perundangundangan. Dalam konteks politik Indonesia, proses pembuatan UU yang dilakukan oleh wakil rakyat bisa berpotensi bertentangan dengan hukum, apabila dalam praktiknya terjadi jual beli pasal dalam penyusunan UU. Proses aplikasi adalah yang lebih banyak disusupi oleh para mafia hukum karena mereka mampu memengaruhi proses penyidikan hingga putusan pengadilan.
Kasus Gayus Tambunan menjadi contoh bagaimana aplikasi sistem peradilan pidana disusupi oleh mafia. Terakhir, proses eksekusi atau pelaksanaan putusan tidak kalah banyak menyimpang karena dipengaruhi oleh mafia hukum. Sebagai contoh kasus ini ialah terpidana kasus suap BLBI Artalyta Suryani yang selnya dipenuhi barang-barang mewah. Persoalannya, mengapa hukum kita begitu mudah disusupi mafia hukum? Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya efek jera bagi mereka para pelanggar hukum yang ditunjukkan dengan eksekusi putusan yang cenderung minimal.
Dalam hal ini, UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur dan memberikan ancaman pidana yang cukup tinggi bagi para pelaku tindak pidana korupsi bahkan diancam hukuman mati. UU Tindak Pidana Korupsi memberikan banyak celah bagi kejahatan yang dapat ”dimanfaatkan”oleh mafia hukum.
Sebagai contoh,perbuatan yang merupakan delik formil memaksa hakim konstitusi mengubah sifat melawan hukum dalam korupsi menjadi sifat melawan hukum formil. Konsekuensinya, sifat melawan hukum harus berada dalam perundangundangan, berbeda dengan melawan hukum materiil yang dapat menggunakan sifat melawan hukum dalam masyarakat. Contoh kedua,pidana mati hanya dapat dijatuhkan terhadap korupsi dalam keadaan tertentu.
Sampai saat ini belum pernah terjadi tuntutan pidana mati terhadap koruptor bahkan pidana yang dijatuhkan relatif kecil. Maka, perlu ada penguatan penal policy yang lebih baik lagi dalam pemberantasan mafia hukum. Dalam United Nation Convention Againts Corruption yang telah diratifikasi UU No 7 Tahun 2006, korupsi diakui sebagai kejahatan kemanusiaan karena telah merusak berbagai dimensi kehidupan masyarakat sehingga pidana mati diperlukan dalam memberantas mafia hukum.(*)
MF Akbar
Mahasiswa Ilmu Hukum
Bagian Hukum Pidana
Universitas Gadjah Mada
masuk Seputar Indonesia Edisi Cetak 17 November 2011
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/364447/
Memperkuat Lembaga Praperadilan dibandingkan melahirkan Hakim Komisaris
HET Recht Hink Achter de Feiten Aan, hukum selalu terpincang-pincang di belakang zaman. Asas tersebut memberi makna bahwa suatu pembentukan hukum akan sangat sulit jika harus selalu sesuai dengan zaman.
Asas tersebut diperkuat oleh pendapat Von Savigni yang menyatakan bahwa hukum harus menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat, bukan sebaliknya.
Pendapat Von Savigny tersebut bila dipersingkat menjadi Ubi Societas Ibi Ius, di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Asas-asas hukum di ataslah yang melatarbelakangi adanya rancangan Undang-undang KUHAP untuk menggantikan undang-undang nomor 8 tahun 1981 yang sudah usang di masyarakat Indonesia.
Pemerintah dan DPR yang membentuk panitia penyusun rancangan Undang-undang KUHAP tersebut telah melakukan hal yang benar untuk mengganti KUHAP saat ini, karena jelas hukum harus terus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Akan tetapi, perubahan tersebut harus tetap pada latar belakang pembentukan hukum tersebut, yaitu menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat Indonesia saat ini. Dalam pembentukkannya timbul konsep dalam RUU KUHAP yang kontroversial saat ini, yaitu konsep hakim komisari.
Pada 1979, RUU KUHAP pertama kali diajukan oleh pemerintah di bawah Kementrian Kehakiman ke DPR untuk dibentuk suatu Undang-undang. Dalam pembentukannya tersebut, konsep yang paling merebak di masyarakat adalah konsep hakim komisaris.
Konsep hakim komisaris ditolak oleh beberapa kalangan praktisi hukum seperti, Peradin, akademisi, bahkan kalangan pers. Akhirnya pemerintah memberi masukan untuk mengubah rancangan undang-undang tersebut dengan menerima masukan berbagai kalangan penegak hukum dalam sub-sub sistem peradilan pidana Indonesia serta masyrakat pada umumnya.
Pada 1980 Konsep hakim komisaris, diakomodir menjadi konsep lembaga praperadilan. Tahun 1981 KUHAP diundangkan dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Konsep lembaga praperadilan yang dibentuk tersebut diambil dari konsep “Habeus Corpus Act”. Konsep ini berawal dari suatu surat di eropa dalam suatu sistem peradilan anglo-saxon yang berisi “Si tahanan berada dalam penguasaan Saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukan alasan yang menyebabkan penahanannya”.
Prinsip dasar harbeus corpus ini memberikan inspirasi untuk menciptakan suatu forum yang memberikan hak dan kesempatan kepada seseorang yang sedang menderita karena dirampas atau dibatasi kemerdekaannya untuk mengadukan nasibnya sekaligus menguji kebenaran dan ketepatan dari tindakan kekuasaan berupa penggunaan upaya paksa (dwang middelen), baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-surat yang dilakukan oleh pihak kepolisian ataupun kejaksaan ataupula kekuasaan lainnya.
Dalam perjalanannya, Lembaga Praperadilan yang lahir tahun 1981 ternyata saat ini sudah dianggap tidak lagi cocok dengan Perkembangan Indonesia saat ini. Ketidak cocokan itu antara lain adalah lembaga praperadilan saat ini tidak memeriksa seluruh upaya paksa, hanya memeriksa syarat formil tanpa hal subtanstif, bersifat pasif menuggu gugatan dan kelemahan-kelemahan lainnya. Kelemahan-kelemahan yang ada dalam lembaga praperadilan tersebut menunjukan bahwa Lembaga praperadilan tidak sesuai lagi dengan Indonesia yang menjunjung tinggi HAM.
Berdasarkan hal tersebut, maka konsep Hakim Komisaris kembali dihidupkan dalam RUU KUHAP. Akan tetapi konsep tersebut merupakan konsep yang sangat kontroversial karena konsep tersebut akan menghapus secara penuh lembaga praperadilan.
Konsep lembaga praperadilan yang telah menjadi legal culture di dalam masyrakat Indonesia jika dicabut akan berimplikasi pada Sistem Peradilan Pidana secara keseluruhan. Konsep hakim komisaris juga hanya berpacu pada due process model yang menekankan pada perlindungan terdakwa.
Padahal, filosofis sistem peradilan pidana yang merupakan perpaduan antara due process model dan crime control model yang bertujuan pada perlindungan kepentingan terdakwa, korban, dan masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu, lembaga praperadilan itu harus tetap dipertahankan karena bertujuan pada filosofis sistem peradilan pidana Indonesia, sehingga konsep hakim komisaris dalam RUU KUHAP sekali lagi harus dihilangkan.
Namun, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, yaitu Lembaga Praperadilan tetap dipertahankan hanya saja diperkuat dengan konsep hakim komisaris yang diajukan dalam RUU KUHAP sehingga tujuan sistem peradilan pidana dapat dicapai. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diciptakan masyarakyat yang tertib dan teratur untuk Indonesia yang sejahtera.
M F Akbar
Mahasiswa Bagian Hukum Pidana
Universitas Gadjah Mada
telah dimuat di okezone.com pada tanggal 30 April 2010.
http://kampus.okezone.com/read/2010/04/30/95/327959/memperkuat-lembaga-praperadilan-dari-konsep-hakim-komisaris
Tembak Mati baga Para Koruptor
TEMBAK mati merupakan prosedur pelaksanaan pidana mati yang telah dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 2 PNPS tahun 1964. Pidana mati merupakan hal yang lazim digunakan dari zaman Raja Hammurabi, pengkodifikasi hukum pertama kail hingga sekarang.
Namun kontroversi yang timbul adalah pidana mati tidak lagi relevan dengan Indonesia yang menjungjung tinggi hak hidup sebagai non derogable right sebagaimana telah dirumuskan dalam UUD hasil amandemen.
Pasal 28 A Konstitusi kita UUD 1945 menyatakan, setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Pasal tersebut diperkuat oleh pasal yang terdapat dalam bab yang sama, pasal 28 I ayat 1 yang intinya menyatakan bahwa hak hidup merupakan non derogable right atau suatu hak yang tidak dapat dikurangi suatu apapun. Akan tetapi hak-hak tersebut tidaklah benar-benar mutlak. Masih dalam bab yang sama, Pasal 28 J ayat 2 menekankan pada hak-hak tersebut dapat diberikan pembatasan, ini diperkuat oleh tafsir Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitusi dalam putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007. Pasal tersebut menyebutkan, bahwa setiap pasal 28 J ayat 2 memberikan pembatasan kepada semua hak dalam Bab XA UUD 1945 termasuk didalamnya pasal 28A dan 28I ayat 1. Oleh karena itu pidana mati merupakan hal yang konstitusional atau berdasar Undang-undang Dasar 1945.
Pidana mati merupakan keniscayaan sebagai bentuk pemidanaan, dengan tujuan tetap mengakui dan menghormati hak dan kebebasan orang lain sebagaimana termaktub dalam tujuan pembatasan dalam pasal 28J ayat 2 UUD 1945. Oleh karena itu, pidana mati dapat diberlakukan kepada kejahatan-kejahatan yang telah melanggar hak dan kebebasan orang lain. Dalam artikel ini, penulis akan membuktikan bahwa pidana mati merupakan sebuah keniscayaan diberlakukan pada tindak pidana korupsi.
Korupi menurut The Lexicon (1978) dalam Andi Hamzah (1984) dalam buku “Negara Bersih dari Korupsi” mengartikan korupsi sebagai sesuatu perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, dan tidak bermoral, tidak jauh berbeda Senturia (1993) dalam Jeremy Pope (2003) mengatakan korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan, kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Masih banyak definisi lainnya, yang pada intinya dapat kita sepakati bahwa korupsi merupakan hal yang buruk dan harus diberantas.
Berdasarkan UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 mendefinisikan kejahatan korupsi dalam tiga unsur. Pertama, perbuatan yang melawan hokum. Kedua, perbuatan yang dimaksudkan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Ketiga, perbuatan yang dapat merugikan keuangan Negara. Perbuatan korupsi yang memenuhi unsur delik diatas dapat diberikan hukuman mati bagi pelakunya apabila perbuatan tersebut dilakukan dalam keadaan tertentu.
Keadaan tertentu tersebut dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 Undang-undang tindak Pidana Korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Ketika koruptor melakukan perbuatan korupsinya dalam keadaan tersebut dapat dijatuhi pidana mati. Maka sudah sepatutnya dikaji apakah pasal tersebut sudah secara niscaya diberlakukan terhadap pelaku korupsi.
Berdasarkan United Nation Convetion Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2006 korupsi dinyatakan sebagai Crimes Against Human Right atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Korupsi dapat dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dikarenakan kerupsi merusak beberapa hal yaitu; Merusak Demokrasi, Merusak Aturan Hukum, Merusak Pembangunan Berkelanjutan, Merusak Pasar, Merusak Kualitas Hidup, dan Merusak HAM. Dalam penjelasan UU KPK juga dikatakan bahwa korupsi merupakan Extra Ordinary Crime, sehingga jelas dibutuhkan sebuah Extra Ordinary Solution.
Berdasarkan uraian panjang di atas jelas bahwa pasal 2 ayat 2 jelas telah tepat diberlakukan untuk para koruptor, yaitu sebuah pidana mati. Ketika kita masih menjungjung sila ke dua “kemanusiaan yang adil dan beradab” maka jelas sanksi yang tepat bagi kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pidana mati.
Ketika dalam sebuah tujuan pemidanaan untuk menciptakan sebuah tertib hokum dalam masyrakat maka pidana mati adalah hal yang tepat dalam tindak pidana korupsi. Bahkan Keadaan tertentu dalam pasal 2 ayat 2 harus diperluas sebagaimana unsur-unsur yang terdapat dalam UNCAC. Sehingga seluruh korupsi yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan harus dipidana mati.
MF Akbar
Mahasiswa Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
dimuat di
tulisan ini dimuat pada media Okezone.com pada 1 April 2010.
http://kampus.okezone.com/read/2010/04/01/95/318313/95/tembak-mati-bagi-para-koruptor
Ancaman Pidana Mati pada Korupsi Bencana Alam
PRAY for Indonesia.
Kalimat tersebut merupakan sebuah rangkaian kata yang memberikan makna dukungan bagi Indonesia yang telah dirundung berbagai bencana. Gunung Merapi yang meletus, Tsunami di Mentawai, banjir bandang di Wasior, serta berbagai bencana yang memang merupakan kehendak tuhan. Kalimat tersebut bahkan muncul dalam dunia Internasional.
Pada akhirnya tidak hanya dari Indonesia, tetapi dari dunia internasional terhisap magnet Pray for Indonesia. Bantuan untuk para korban bencana alam kemudian mulai tersalurkan dengan jumlah miliaran, bahkan triliunan rupiah. Hal ini memacu pemerintah pusat maupun daerah setempat daerah terjadinya bencana untuk mengkordinir penggalangan dana tersebut.
Dalam pengelolaan dana tersebut tidak dapat dipungkiri terjadinya penyimpangan. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan di Indonesia telah memeberikan ancaman yang tinggi pada para pelaku penyimpangan dana di saat bencana tersebut, Ancaman Pidana Mati.
Pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta rupiah dan paling banyak Rp1 miliar rupiah. Dari pasal tersebut dapat diambil tiga unsur utama dalam tindak pidana korupsi.
Sifat melawan hukum, perbuatan yang memperkaya diri sendiri, korporasi, atau orang lain, dan terakhir dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pada pengelolaan dana bencana sangat dimungkinkan seorang pengelola mengambil dana tersebut sebagian tanpa prosedur yang benar. Hal tersebut disebabkan dana bencana yang pengelolaannya diadakan secara isidentil, belum terkordinasi dan terawasi dengan baik. Dalam hal tersebut unsur melawan hukum telah terpenuhi.
Seorang pengelola dana tersebut sangat dimungkinkan berkordinasi dalam suatu kelompok pada proses penyimpangan terhadap dana tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah pengambilan uang. Motivasi-motivasi yang timbul jelas untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi atau kelompok yang melakukan penyimpangan tersebut. Dalam hal ini unsur menguntungkan diri sendiri, korporasi, atau orang lain telah terpenuhi.
Pemerintah merupakan pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab dalam Penanganan Bencana alam. Oleh karena itu, segala dana dari dalam maupun luar negeri selayaknya merupakan tanggung jawab negara.
Penyimpangan dana yang dilakukan terhadap dana penganggulangan bencana dapat merugikan Negara dalam melakukan penanggulanan bencana alam. Oleh karena itu, jelas terdapat unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam penyimpangan dana bencana alam.
Dalam setiap rumusan delik korupsi sangat cocok dengan penyimpangan dana bencana alam. Hanya saja sanksi dalam pasal 2 ayat 1 UU PTPK paling tinggi hanyalah pidana seumur hidup. Keadaan bencana alam merupakan alasan pemberat yang seharusnya dapat menambah sanksi pidana.
Pada pasal 2 ayat 2 Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi (PTPK) dinyatakan “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Pada pasal ini jelas terlihat peluang dijatuhkannya sanksi pidana mati pada tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu perlu diperjelas klausul dalam keadaan tertentu. Pada penjelasan pasal 2 ayat 2 tersebut dinyatakan “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, Bencana Alam Nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Pada dasarnya jelas ketika penyimpangan dana bencana alam dalam bentuk tindak pidana korupsi dilakukan, maka pidana mati merupakan pilihan pidana satu-satunya yang dimiliki oleh seorang hakim dalam menegakan keadilan. Hal tersebut didasari untuk menutup dan memberikan ketakutan pada setiap orang untuk melakukan tindak pidana korupsi dalam kondisi bencana alam.
Harapannya semoga penaggulangan bencana alam di Indonesia tidak diwarnai tindak pidana korupsi. Sehingga penanggulangan bencana alam di Indonesia berjalan lancar dan segera terselesaikan.
Fiat Justicia et Pereat et Mundus
M.F. Akbar
Mahasiswa Fakultas Hukum
Bagian Hukum Pidana
Universitas Gadjah Mada
dimuat di okezone.com pada 11 November 2010.