Home » Opini Koran » Memperkuat Lembaga Praperadilan dibandingkan melahirkan Hakim Komisaris

Memperkuat Lembaga Praperadilan dibandingkan melahirkan Hakim Komisaris

HET Recht Hink Achter de Feiten Aan, hukum selalu terpincang-pincang di belakang zaman. Asas tersebut memberi makna bahwa suatu pembentukan hukum akan sangat sulit jika harus selalu sesuai dengan zaman.

Asas tersebut diperkuat oleh pendapat Von Savigni yang menyatakan bahwa hukum harus menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat, bukan sebaliknya.

Pendapat Von Savigny tersebut bila dipersingkat menjadi Ubi Societas Ibi Ius, di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Asas-asas hukum di ataslah yang melatarbelakangi adanya rancangan Undang-undang KUHAP untuk menggantikan undang-undang nomor 8 tahun 1981 yang sudah usang di masyarakat Indonesia.

Pemerintah dan DPR yang membentuk panitia penyusun rancangan Undang-undang KUHAP tersebut telah melakukan hal yang benar untuk mengganti KUHAP saat ini, karena jelas hukum harus terus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.

Akan tetapi, perubahan tersebut harus tetap pada latar belakang pembentukan hukum tersebut, yaitu menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat Indonesia saat ini. Dalam pembentukkannya timbul konsep dalam RUU KUHAP yang kontroversial saat ini, yaitu konsep hakim komisari.

Pada 1979, RUU KUHAP pertama kali diajukan oleh pemerintah di bawah Kementrian Kehakiman ke DPR untuk dibentuk suatu Undang-undang. Dalam pembentukannya tersebut, konsep yang paling merebak di masyarakat adalah konsep hakim komisaris.
Konsep hakim komisaris ditolak oleh beberapa kalangan praktisi hukum seperti, Peradin, akademisi, bahkan kalangan pers. Akhirnya pemerintah memberi masukan untuk mengubah rancangan undang-undang tersebut dengan menerima masukan berbagai kalangan penegak hukum dalam sub-sub sistem peradilan pidana Indonesia serta masyrakat pada umumnya.

Pada 1980 Konsep hakim komisaris, diakomodir menjadi konsep lembaga praperadilan. Tahun 1981 KUHAP diundangkan dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Konsep lembaga praperadilan yang dibentuk tersebut diambil dari konsep “Habeus Corpus Act”. Konsep ini berawal dari suatu surat di eropa dalam suatu sistem peradilan anglo-saxon yang berisi “Si tahanan berada dalam penguasaan Saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukan alasan yang menyebabkan penahanannya”.

Prinsip dasar harbeus corpus ini memberikan inspirasi untuk menciptakan suatu forum yang memberikan hak dan kesempatan kepada seseorang yang sedang menderita karena dirampas atau dibatasi kemerdekaannya untuk mengadukan nasibnya sekaligus menguji kebenaran dan ketepatan dari tindakan kekuasaan berupa penggunaan upaya paksa (dwang middelen), baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-surat yang dilakukan oleh pihak kepolisian ataupun kejaksaan ataupula kekuasaan lainnya.

Dalam perjalanannya, Lembaga Praperadilan yang lahir tahun 1981 ternyata saat ini sudah dianggap tidak lagi cocok dengan Perkembangan Indonesia saat ini. Ketidak cocokan itu antara lain adalah lembaga praperadilan saat ini tidak memeriksa seluruh upaya paksa, hanya memeriksa syarat formil tanpa hal subtanstif, bersifat pasif menuggu gugatan dan kelemahan-kelemahan lainnya. Kelemahan-kelemahan yang ada dalam lembaga praperadilan tersebut menunjukan bahwa Lembaga praperadilan tidak sesuai lagi dengan Indonesia yang menjunjung tinggi HAM.

Berdasarkan hal tersebut, maka konsep Hakim Komisaris kembali dihidupkan dalam RUU KUHAP. Akan tetapi konsep tersebut merupakan konsep yang sangat kontroversial karena konsep tersebut akan menghapus secara penuh lembaga praperadilan.

Konsep lembaga praperadilan yang telah menjadi legal culture di dalam masyrakat Indonesia jika dicabut akan berimplikasi pada Sistem Peradilan Pidana secara keseluruhan. Konsep hakim komisaris juga hanya berpacu pada due process model yang menekankan pada perlindungan terdakwa.

Padahal, filosofis sistem peradilan pidana yang merupakan perpaduan antara due process model dan crime control model yang bertujuan pada perlindungan kepentingan terdakwa, korban, dan masyarakat pada umumnya.

Oleh karena itu, lembaga praperadilan itu harus tetap dipertahankan karena bertujuan pada filosofis sistem peradilan pidana Indonesia, sehingga konsep hakim komisaris dalam RUU KUHAP sekali lagi harus dihilangkan.

Namun, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, yaitu Lembaga Praperadilan tetap dipertahankan hanya saja diperkuat dengan konsep hakim komisaris yang diajukan dalam RUU KUHAP sehingga tujuan sistem peradilan pidana dapat dicapai. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diciptakan masyarakyat yang tertib dan teratur untuk Indonesia yang sejahtera.

M F Akbar
Mahasiswa Bagian Hukum Pidana
Universitas Gadjah Mada

telah dimuat di okezone.com pada tanggal 30 April 2010.
http://kampus.okezone.com/read/2010/04/30/95/327959/memperkuat-lembaga-praperadilan-dari-konsep-hakim-komisaris