Muhammad Fatahillah Akbar
Dosen pada Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Diterbitkan di Jawa Pos 5 Juli 2017
Quis custodiet ipsos custodies? Who watches the watchers? Siapa yang mengawasi pengawas? Adagium ini sangat tepat kiranya disandingkan dengan fenomena KPK versus DPR. Dalam menjalankan fungsi pengawasannya DPR menggunakan hak angketnya secara irasional untuk mempertanyakan beberapa tindakan KPK terutama berkaitan dengan pemeriksaan kasus maha besar E-KTP. KPK dianggap sewenang-wenang dan keluar dari jalurnya sehingga DPR melalui sidang paripurna menyatakan setuju dibentuk Pansus Angket KPK yang diselenggarakan dengan dana yang tidak sedikit. Bahkan dalam prosesnya DPR mengancam membekukan anggaran KPK. Apakah KPK ditinjau dari sisi sistem peradilan pidana dapat bertindak sewenang-wenang.
Dalam sistem peradilan pidana, hukum pidana materiil dan formil harus diatur secara tegas dan rigid untuk mencegah adanya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan peradilan atau yang disebut oleh Jimly Assidiqie sebagai judicial tyranny. Barda Nawawi menyatakanSistem peradilan pidana di Indonesia sudah disusun secara terpadu yang melibatkan seluruh elemen penegak hukum. Dalam arti sempit Sistem Peradilan Pidana terpadu melibatkan penyelidik, penyidik, penuntut umum, hakim, dan eksekutor. Perbuatan sewenang-wenang tidak akan terjadi karena setiap institusi diawasi dan dikroscek langsung oleh institusi lainnya. Sebagai contoh hasil penyidikan yang telah disusun oleh penyidik akan diperiksa oleh penuntut umum dalam proses pra-penuntutan. Bentuk inilah yang dikenal dengan Pengawasan Yudisial. Bentuk pengawasan ini paling tepat diberikan dalam pelaksanaan peradilan.
Dalam tindak pidana korupsi, sistem peradilan pemberantasan korupsi lebih komprehensif dan rigid serta bersifat khusus. Selain Hukum materiil yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri yakni UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukum formil juga diatur sendiri dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Kekhususan yang diatur dalam Paket Undang-Undang Korupsi tersebut membentuk sistem pemberantasan korupsi yang jauh lebih komprehensif. Sebagai contoh, UU KPK mengatur bagaimana fungsi kordinasi dan supervise dapat KPK jalankan terhadap institusi lain, yakni Kepolisian dan Kejaksaan. Pengawasan yudisial dalam pemberantasan korupsi dibuat lebih komprehensif. Hasil akhir dari penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tipikor. Bahkan upaya paksa KPK juga masih merupakan domain lembaga praperadilan di bawah Pengadilan Negeri. Dalam hal ini, pengawasan yudisial sudah sangat cukup, perlukan pengawasan DPR untuk perkara-perkara tertentu?
Pertanyaan tersebut pada dasarnya telah terjawab di paragraf tersebut, namun ada baiknya dijawab dengan lebih komprehensif. KPK, sebagaimana sudah diamanatkan dalam UU 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001, yang kemudian disusun secara komprehensif dalam UU No. 30 Tahun 2002, adalah lembaga yang dilahirkan dan dibentuk sebagai lembaga independen. Perbedaan mendasar KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan adalah KPK tidak berada di bawah kekuasaan eksekutif. Pasal 3 UU KPK secara tegas menyatakan bahwa KPK “bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.” Tentu hal ini termasuk kekuasaan legislatif.
Dalam pembentukan Pansus Angket KPK yang hanya didasari pada Kasus-Kasus tertentu dimana angket fokus pada proses peradilan yang dilaksanakan KPK adalah tidak tepat. Dalam hal ini, KPK telah memiliki pengawasan yudisial. Praperadilan dapat menentukan benar atau tidaknya perbuatan KPK. Jika memang banyak pihak merasa dirugikan dalam penangkapan maupun penetapan sebagai tersangka akan lebih terasa legal dan gentlemen jika melalui proses peradilan itu sendiri tanpa melalui kekuasaan lainnya dalam hal ini legislatif. Bahkan ditegaskan dalam Pasal 9 huruf e UU KPK, bahwa KPK dapat mengambil alih perkara yang sedang dikerjaksan oleh Kepolisian atau Kejaksaan ketika ada kekuasaan eksekutif, legislative, maupun yudikatif yang menghambat proses penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi. Dengan begini menjadi tegas bahwa, DPR tidak dapat sewenang-wenang mempengaruhi proses peradilan tersebut. Bagi pihak-pihak yang terlibat dapat challenge tindakan KPK melalui pengawsan yudisial yang sudah disediakan, seperti Praperadilan dan Pengadilan Tipikor.
Legalitas hak angket juga harus dipertanyakan. Sebagaimana Pasal 79 ayat 3 UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan Undang-Undang dan/atau kebijakan pemerintah yang penting, strategis, dan berdampak luas. Dalam hal ini, pelaksanaan Pansus juga hanya didasari kepada suatu proses peradilan yang sangat jelas terlihat fokus pada kasus E-KTP dimana dengan tidak hadirnya Miryam saja membuat DPR mengancam membekukan anggaran KPK. Apakah hal tersebut dapat dikatakan strategis dan berdampak luas? Pemberhetian anggaran KPK malah dapat berdampak luas kepada masyarakat dimana koruptor dapat bertindak semakin liar. Namun, DPR sendiri siapa yang dapat melakukan pengawasan? Sebagai masyarakat kita harus berhati-hati dengan institusi yang tidak memiliki pengawasan. Lord Acton mengatakan “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.”