Muhammad Fatahillah Akbar
Dosen Hukum Pidana
Fakultas Hukum
Universitas Gadjah mada
Diterbitkan Jawa Pos 17 November 2017
Quid leges sine moribus bermakna apalah artinya hukum tanpa moralitas. Adagium itu pada dasarnya sangat cocok dengan babak kedua penetapan tersangka Setyo Novanto. Ada dua hal yang dapat dipelajari dan disoroti dalam ranah hukum pidana terkait tindakan Setyo Novanto dalam menghadapi penetapan tersangkanya. Pertama adalah bagaimana ketaatannya terhadap pemanggilan dirinya baik sebagai saksi maupun tersangka dan kedua terkait dengan statusnya sebagai Ketua DPR sekaligus Tersangka kasus korupsi.
SN beberapa kali menolak panggilan dalam Sprindik terbaru. Pada dasarnya, jika melihat Praperadilan yang digawai Hakim Cepi sebelumnya panggilan ini penting dipenuhi oleh SN. Pada perkara praperadilan sebelumnya, hakim Cepi mempermasalah Surat Perintah Penyidikan No. Sprin.Dik-56/01/07/2017 yang hanya berjarak satu hari dengan Surat No. 310/23/07/2017 tertanggal 18 Juli 2017, Perihal : Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, dimana SN ditetapkan sebagai Tersangka. Menjadi permasalahan bagaimana penetapan tersangka berjarak hanya satu hari dari dimulainya penyidikan. Hal ini dipertanyakan karena jika merujuk pada definisi penyidikan yang ditemukan dalam ratio decidendi (pertimbangan yang mengikat) dalam Putusan MK Nomor 21/PUUXII/ 2014, pada Paragraf 3.14 dinyatakan “Menurut Mahkamah pemeriksaan calon tersangka dan didukung dengan dua alat bukti diwajibkan sebagai bentuk perlindungan terhadap hak asasi dimana calon tersangka dapat memberikan keterangan yang seimbang.” Sehingga calon tersangka sangat penting untuk diperiksa dalam proses penyidikan. Sekalipun SN telah diperiksa pada perkara Irman dan Sugiharto, namun belum pernah diperiksa pada perkaranya sendiri yang dipisah dengan perkara lainnya. Namun, dengan pemanggilan yang sah tersebut, selayaknya sudah memenuhi ketentuan dalam Putusan MK tersebut dimana KPK telah memanggil tersangka.
Dalam perkara pidana umum saksi yang menolak pemanggilan dan dengan sengaja tidak hadir diancam dengan Pidana Pasal 244 KUHP. Dalam tindak pidana korupsi, bahkan saksi yang dengan sengaja tidak memberi keterangan diancam dengan pidana penjara minimum 3 tahun dan paling lama 12 tahun. Pidana tersebut jauh lebih besar dari KUHP. Terlepas daripada kewajiban sebagai saksi. Sebagai Ketua DPR yang memiliki peran penting dalam legislasi Undang-Undang tentu berkewajiban memberikan contoh ketaatan terhadap hukum, baik sebagai saksi ataupun tersangka, lebih baik menaati panggilan tersebut. Pembentuk aturannya saja tidak hadir, apalagi rakyatnya.
Terdapat argumentasi bahwa SN dapat berlindung kepada Presiden. Sebaiknya SN memahami lebih dalam mengenai UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Pada Pasal 245 UU MD3, pemanggilan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus melalui persetujuan Badan Kehormatan. Dalam tahapan ini, SN tidak memahami prosedur tersebut. Selain itu, SN tidak memahami bahwa Pasal 245 ayat (3) huruf c mengecualikan aturan tersebut untuk tindak pidana khusus. Tindak Pidana Korupsi yang diatur di luar KUHP, serta memiliki ketentuan menyimpang dari KUHP secara materiil sebagaimana diperbolehkan Pasal 103 KUHP dan menyimpang dari KUHAP secara formil sebagaimana dilegitimasi Pasal 284 KUHAP, sehingga jelas merupakan Tindak Pidana Khusus. Sederhananya, dalam pemanggilan KPK untuk SN, tidak ada alasan hukum apapun bagi SN untuk tidak hadir. Sekali lagi, selain daripada itu untuk menunjukan kehormatan sebagai ketua DPR, menunjukkan ketaatan terhadap hukum sangat krusial.
Selain posisi bagi SN untuk hadir sebagai tersangka maupun saksi, Partai Golkar dan Badan Kehormatan DPR harus mempertimbangkan status SN sebagai Ketua DPR. Dalam kaitannya dengan hal ini kita dapat melihat perbedaan yang dibuat oleh DPR dalam Undang-Undang KPK dan DPR. Pada Pasal 87 ayat (5) UU MD3 dinyatakan bahwa Pimpinan DPR diberhentikan sementara ketika statusnya adalah Terdakwa atau ketika dimana Pemeriksaan sidang di Pengadilan telah dimulai. Hal ini menjadi dasar bahwa SN sebagai tersangka tidak boleh diberhentikan sementara. Hal ini berbeda jauh dengan pengaturan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK). Pasal 32 ayat (2) UU KPK memberhentikan sementara Pimpinan KPK yang statusnya menjadi seorang tersangka. Dalam hal ini terlihat bahwa Ketua DPR diberhentikan sementara sebagai terdakwa, sedangkan pimpinan KPK harus diberhentikan sementara saat menjadi tersangka. Apakah KPK lebih terhormat dibandingkan DPR? Tentu tidak. Putusan MK Nomor 25/PUU-XIII/2015 pernah membahas tentang Pasal 32 ayat (2) UU KPK tersebut. Saat itu Bambang Widjojanto mantan Pimpinan KPK menggugat Pasal tersebut, namun MK menolak permohonan pengujian tersebut. Salah satu pertimbangan MK dalam Putusan tersebut adalah bahwa KPK adalah lembaga yang dibangun sebagai lembaga penegak hukum terpecaya, sehingga berdasarkan prinsip reparatoir-condemnatoir yakni menghukum sekaligus memperbaiki penting untuk memberhentikan secara sementara pimpinan KPK yang berstatus sebagai tersangka. Dimana dalam pemberhentian sementara terkandung sifat penghukuman namun juga terkandung bentuk perbaikan, yakni salah satunya untuk memulihkan hak-hak nya sebagai tersangka dan bilamana tidak terbukti dan status tersangkanya dicabut, maka pemberhentian sementaranya bisa dicabut. Prinsip reparatoir-condemnatoir seharusnya bisa diterapkan pada Pimpinan DPR. Pimpinan DPR merupakan profesi terhormat yang memimpin jalannya proses legislasi, pengawasan, dan budgeting yang sangat vital dalam berjalannya Negara ini. Seharusnya DPR sendiri melakukan review dan menerapkan equality before the law di antara semua pimpinan lembaga di Indonesia mengenai kapan mereka harus diberhentikan sementara di dalam posisi hukum yang sama, yakni tersangka. Untuk menjaga martabat DPR sudah selayaknya Pimpinan DPR diberhentikan dalam status sebagai tersangka. Sebagaimana adagium, apalah hukum tanpa moralitas. Hal terpenting adalah bukan bagaimana aturannya, namun, bagaimana seharusnya moral seorang pemimpin. Bukan merupakan contoh tokoh yang baik, namun Andi Malarangeng sebagai menteri saat itu mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai tersangka sekalipun itu tidak diwajibkan aturan hukum manapun.
***