Home » Tak Berkategori » Politik Hukum Pidana Perzinaan

Politik Hukum Pidana Perzinaan

Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M.

Diterbitkan oleh Jawa Pos 25 Desember 2018

Let’s kill all the lawyers merupakan ungkapan Shakespeare untuk menunjukkan bahwa ahli-ahli hukum itu malah merusak hukum itu sendiri. Dalam hal ini kurang lebih cocok dengan para ahli hukum yang sema-mena menerjemahkan Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 mengenai uji materiil KUHP. Pemahaman yang disampaikan media didukung beberapa pakar hukum yang terlibat adalah bahwa MK “melegalkan” kumpul kebo dan LGBT. Tulisan ini akan menjelaskan secara sederhana dari sudut pandang hukum pidana mengenai Putusan MK tersebut. Bagian awal yang harus dipahami adalah bahwa para pemohon mengajukan pengujian Pasal 284 KUHP (Perzinaan), Pasal 285 KUHP (Perkosaan), dan Pasal 292 KUHP (Perbuatan Cabul). Dengan luasnya pembahasan pada Putusan tersebut, maka tulisan ini akan fokus mengkaji mengenai politik hukum pidana mengenai perzinaan.  

Dalam isu perzinaan, pemohon memohon menghapus unsur “ikatan perkawinan” dalam Pasal 284, serta merubahnya dari delik aduan (klacht delict) menjadi delik biasa. Secara sederhana permohonan tersebut ingin menciptakan kriminalisasi atau proses merubah perbuatan zina dimana pelaku tidak memiliki ikatan pidana yang tadinya tidak dipidana menjadi perbuatan pidana. Dalam hal ini, kriminalisasi tidak dapat dilakukan MK. Sebagaimana bisa kita temukan dalam Putusan MK Nomor 132/PUU-XIII/2015 yang menguji tentang pasal Prostitusi di KUHP dikatakan bahwa MK tidak dapat menjadi criminal policy maker dimana yang dapat merumuskan kebijakan pidana hanyalah DPR dan MK hanya sebagai negative legislature yang hanya dapat menghapus ketentuan, bukan menciptakan ketentuan. Pendapat tersebut bahkan oleh MK disebut sebagai opinio jurist sive necessitates atau pandangan umum yang diterima oleh para jurist sebagai hukum. Sehingga MK tidak dapat melakukan proses kriminalisasi tersebut. Kewenangan MK tidak sampai untuk menciptakan sebuah tindak pidana baru. Walaupun jika diperhatikan tidak sedikit kasus dimana MK menjadi positive legislature apalagi dalam UU Pidana, sebagai contoh adalah Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2015 dimana MK memperluas kewenangan Praperadilan. Dalam kasus tersebut MK menjadi positive legislature. Seharusnya secara tegas MK menjadi negative legislature saja terutama yang berkaitan dengan politik hukum pidana. Selain itu, harus dilihat bahwa KUHP warisan Belanda yang telah disahkan sebagai Undang-Undang Pidana Indonesia telah sejak awal hanya memidana  perzinaan bagi yang memiliki ikatan perkawinan saja, sehingga ini bukan merupakan kesalahan MK, namun memang merupakan kebijakan pembentuk undang-undang untuk tidak memidana seks bebas yang dilakukan suka-sama-suka.

Sebagai argumentasi lebih lanjut dalam melakukan kriminalisasi, pembentuk undang-undang harus memperhatikan parameter kriminalisasi dimana salah satunya adalah jangan sampai menimbulkan overkriminalisasi. Overkriminalisasi adalah penggunaan pidana yang berlebihan terhadap suatu perbuatan. Tingkatan tertinggi dari overkriminalisasi adalah pemidanaan terhadap perbuatan yang bagi masyarakat umum dan lumrah. Bagi Indonesia yang menganut Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga konstitusi kita bisa juga disebut Godly Constitution, perzinaan sudah sepantasnya tidak menjadi perbuatan umum dan lumrah. Akan tetapi apakah dalam kondisi saat ini penegak hukum serta masyarakat siap menghadapi pemidanaan atas perzinaan dimana kedua pelakunya tidak memiliki ikatan perkawinan dengan pihak lain? Ketidaksiapan tersebut menjadikan pemidanaan hal ini harus melalui jalur pembentuk undang-undang, bukan melalui Mahkamah Konstitusi.

Untuk masalah perzinaan, kita dapat melihat sejauh mana pembentuk undang-undang membahasnya dalam RUU KUHP. Pada RUU KUHP Tahun 2017 Pasal 484 ayat 1 huruf e, pada dasarnya telah mengakomodir permohonan pemohon untuk meng-kriminalisasi-kan perbuatan zina suka sama suka dimana pelaku tidak ada yang memiliki ikatan perkawainan. Namun tercatat Panitia Kerja DPR masih memperdebatkan pasal tersebut dimana 3 fraksi menginginkan pencabutan dan 7 fraksi setuju dengan pasal tersebut sebagaimana tercatat pada catatan Panitia Kerja tertanggal 14 Desember 2016 yang dapat diakses dari website resmi wikidpr.

Bagaimana seharusnya pengaturan perzinaan dapat melihat sifat ketercelaan dari perzinaan yang pada dasarnya jelas melanggar norma agama dan living law yang ada di masyarakat. Sebagaimana 4 hakim MK yang berbeda pendapat dalam Putusan MK tentang perzinaan, menyatakan overspel (perzinaan) seharusnya melingkupi bagi yang sudah memiliki ikatan perkawinan (adultery) dan juga yang belum memiliki ikatan perkawinan (fornication) sesuai dengan norma agama yang ada di Indonesia. Dalam praktik juga banyak ditemukan banyaknya kasus dimana keluarga perempuan dari suatu perzinaan tidak terima ditinggal oleh pihak pria sehingga melaporkan kepada kepolisian, namun tidak dilindungi dan diatur KUHP. Terlebih, akibat dari perzinaan bebas sangat merugikan masyarakat, seperti aborsi, kelahiran tanpa ayah, penyakit kelamin, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pemidanaan atas perzinaan sangat penting untuk diatur.

Selain itu, dalam Politik hukum pidana dikenal juga kebijakan non-penal dimana pendekatannya lebih kepada pendekatan sosial. Dalam kebijakan ini, pemerintah mulai harus memberikan edukasi untuk menjauhi seks bebas kepada masyarakat, serta membangun kegiatan-kegiatan positif lainnya untuk menjauhi masyarakat terutama anak-anak muda dari pergaulan bebas yang berdampak buruk bagi mereka.

Sebagai tambahan isu, sebagaimana diusulkan oleh pemohon perzinaan untuk merubah dari sebuah delik aduan absolut menjadi delik biasa akan melahirkan problematika overkriminalisasi. Delik aduan absolut dalam perzinaan menjadikan hanya pasangan sah perkawinan saja yanag dapat melaporkan suami atau istrinya yang telah melakukan perzinaan. Harus dipahami bahwa Utrecht ahli hukum pidana Belanda menyatakan delik aduan absolut diciptakan karena ada kemungkinan pemidanaan seseorang dapat merugikan korban juga. Dalam perzinaan hal ini penting karena perzinaan yang telah diproses pidana dapat berimplikasi pada citra korban atau kerugian lain pada korban, sehingga penting korban yang memutuskan mengadukan atau tidak. Bahkan dalam RUU KUHP perzinaan tetap menjadi delik aduan absolut. Dalam RUU KUHP juga mulai disusun bagaimana perzinaan dimana pelaku tidak memiliki ikatan perkawinan juga menjadi delik aduan, hanya saja yang mengadukan adalah “pihak berkepentingan” dimana ini bisa termasuk keluarga para pihak.

***