TEMBAK mati merupakan prosedur pelaksanaan pidana mati yang telah dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 2 PNPS tahun 1964. Pidana mati merupakan hal yang lazim digunakan dari zaman Raja Hammurabi, pengkodifikasi hukum pertama kail hingga sekarang.
Namun kontroversi yang timbul adalah pidana mati tidak lagi relevan dengan Indonesia yang menjungjung tinggi hak hidup sebagai non derogable right sebagaimana telah dirumuskan dalam UUD hasil amandemen.
Pasal 28 A Konstitusi kita UUD 1945 menyatakan, setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Pasal tersebut diperkuat oleh pasal yang terdapat dalam bab yang sama, pasal 28 I ayat 1 yang intinya menyatakan bahwa hak hidup merupakan non derogable right atau suatu hak yang tidak dapat dikurangi suatu apapun. Akan tetapi hak-hak tersebut tidaklah benar-benar mutlak. Masih dalam bab yang sama, Pasal 28 J ayat 2 menekankan pada hak-hak tersebut dapat diberikan pembatasan, ini diperkuat oleh tafsir Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitusi dalam putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007. Pasal tersebut menyebutkan, bahwa setiap pasal 28 J ayat 2 memberikan pembatasan kepada semua hak dalam Bab XA UUD 1945 termasuk didalamnya pasal 28A dan 28I ayat 1. Oleh karena itu pidana mati merupakan hal yang konstitusional atau berdasar Undang-undang Dasar 1945.
Pidana mati merupakan keniscayaan sebagai bentuk pemidanaan, dengan tujuan tetap mengakui dan menghormati hak dan kebebasan orang lain sebagaimana termaktub dalam tujuan pembatasan dalam pasal 28J ayat 2 UUD 1945. Oleh karena itu, pidana mati dapat diberlakukan kepada kejahatan-kejahatan yang telah melanggar hak dan kebebasan orang lain. Dalam artikel ini, penulis akan membuktikan bahwa pidana mati merupakan sebuah keniscayaan diberlakukan pada tindak pidana korupsi.
Korupi menurut The Lexicon (1978) dalam Andi Hamzah (1984) dalam buku “Negara Bersih dari Korupsi” mengartikan korupsi sebagai sesuatu perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, dan tidak bermoral, tidak jauh berbeda Senturia (1993) dalam Jeremy Pope (2003) mengatakan korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan, kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Masih banyak definisi lainnya, yang pada intinya dapat kita sepakati bahwa korupsi merupakan hal yang buruk dan harus diberantas.
Berdasarkan UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 mendefinisikan kejahatan korupsi dalam tiga unsur. Pertama, perbuatan yang melawan hokum. Kedua, perbuatan yang dimaksudkan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Ketiga, perbuatan yang dapat merugikan keuangan Negara. Perbuatan korupsi yang memenuhi unsur delik diatas dapat diberikan hukuman mati bagi pelakunya apabila perbuatan tersebut dilakukan dalam keadaan tertentu.
Keadaan tertentu tersebut dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 Undang-undang tindak Pidana Korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Ketika koruptor melakukan perbuatan korupsinya dalam keadaan tersebut dapat dijatuhi pidana mati. Maka sudah sepatutnya dikaji apakah pasal tersebut sudah secara niscaya diberlakukan terhadap pelaku korupsi.
Berdasarkan United Nation Convetion Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2006 korupsi dinyatakan sebagai Crimes Against Human Right atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Korupsi dapat dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dikarenakan kerupsi merusak beberapa hal yaitu; Merusak Demokrasi, Merusak Aturan Hukum, Merusak Pembangunan Berkelanjutan, Merusak Pasar, Merusak Kualitas Hidup, dan Merusak HAM. Dalam penjelasan UU KPK juga dikatakan bahwa korupsi merupakan Extra Ordinary Crime, sehingga jelas dibutuhkan sebuah Extra Ordinary Solution.
Berdasarkan uraian panjang di atas jelas bahwa pasal 2 ayat 2 jelas telah tepat diberlakukan untuk para koruptor, yaitu sebuah pidana mati. Ketika kita masih menjungjung sila ke dua “kemanusiaan yang adil dan beradab” maka jelas sanksi yang tepat bagi kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pidana mati.
Ketika dalam sebuah tujuan pemidanaan untuk menciptakan sebuah tertib hokum dalam masyrakat maka pidana mati adalah hal yang tepat dalam tindak pidana korupsi. Bahkan Keadaan tertentu dalam pasal 2 ayat 2 harus diperluas sebagaimana unsur-unsur yang terdapat dalam UNCAC. Sehingga seluruh korupsi yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan harus dipidana mati.
MF Akbar
Mahasiswa Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
dimuat di
tulisan ini dimuat pada media Okezone.com pada 1 April 2010.
http://kampus.okezone.com/read/2010/04/01/95/318313/95/tembak-mati-bagi-para-koruptor